Setiap tanggal 21 April, Indonesia merayakan Hari Kartini, suatu hari yang dikhususkan untuk memperingati gerakan emansipasi wanita serta perjuangan salah satu pahlawan nasional kita, Raden Ajeng Kartini. Sayangnya, walaupun perjuangan Kartini sebenarnya lebih tertuju terhadap pendidikan dan kesetaraan gender, sekolah-sekolah di Indonesia masih salah dalam memaknai dan merayakannya. Hari Kartini justru digunakan untuk menanamkan norma gender tradisional dan kebudayaan nusantara melalui lomba-lomba busana, menyanyi, dan melukis.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Raden Ajeng Kartini adalah pejuang emansipasi wanita, terutama dalam bidang pendidikan. Pencapaian terbesar beliau ialah pembangunan sekolah-sekolah bagi perempuan Jawa. Pada saat itu, wanita jarang diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan. Dengan begitu, Kartini memiliki misi untuk memajukan pendidikan bagi perempuan-perempuan Indonesia.
Mengetahui hal tersebut, Hari Kartini seharusnya dirayakan untuk mengenang jasa beliau melalui kegiatan-kegiatan bercorak pendidikan. Pengenangan kehidupan pahlawan-pahlawan pendidikan lainnya, misalnya Ki Hajar Dewantara melalui Hari Raya Pendidikan Nasional, umumnya diperingati dengan perayaan prestasi siswa di sekolah atau dalam lomba-lomba seperti OSN atau O2SN. Kegiatan-kegiatan tersebut pun sesuai dengan perjuangan dan prinsip-prinsip yang dipertahankan beliau selama kehidupannya. Tidak ada alasan bagi Kartini untuk diperlakukan berbeda dari pahlawan pendidikan lainnya.
Nyatanya, ada sebuah alasan di belakang penyalahartian Hari Kartini oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Walaupun Hari Kartini awalnya ditetapkan untuk memperingati emansipasi wanita, feminisme mulai pudar pada zaman Orde Baru. Akibatnya, Hari Kartini dijadikan alat untuk menekankan norma gender tradisional dan figur beliau berubah dari seorang pejuang pendidikan bagi wanita menjadi sosok ibu yang patuh dan setia. Pribadi Kartini yang pada zamannya dianggap sebagai seorang radikal, kini digunakan untuk menjunjung prinsip-prinsip kolot.
Masih banyak perempuan Indonesia yang merasakan ketidaksetaraan gender, terutama di bidang pendidikan. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2022, 36.95% wanita di Indonesia memiliki pendidikan SMA ke atas. Perempuan juga cenderung menghadapi diskriminasi di dalam keluarga dan sekolah. Sebuah studi yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan menyatakan bahwa pendidikan anak perempuan cenderung berorientasi pada tugas-tugas domestik, sedangkan anak laki-laki lebih diarahkan pada kegiatan kompetitif. Pernikahan dini pun masih dapat ditemukan di Indonesia, yaitu 6.92% pernikahan anak secara nasional pada tahun 2023. Perempuan juga belum tentu aman di sekolah akibat kenyataan bahwa guru-guru cenderung memberikan kesempatan lebih kepada siswa laki-laki dibandingkan siswa perempuan.
Berkat perjuangan pahlawan-pahlawan seperti Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, dan pahlawan perempuan lainnya, para perempuan Indonesia kini memiliki kebebasan untuk memilih jalan kehidupannya sendiri. Namun, perjalanan kita tentunya masih panjang. Perempuan Indonesia masih menemui banyak hambatan dalam bidang pendidikan. Perayaan Hari Kartini yang seharusnya bisa digunakan untuk menanamkan norma-norma gender tradisional terhadap generasi muda, sayangnya malah memperburuk situasi. Pada zaman modern, penduduk Indonesia harus membuka matanya terhadap peran wanita di luar keluarga dan keibuan. Generasi muda harus diajarkan bahwa perempuan dapat menempuh jenjang pendidikan tinggi dan meraih segala impiannya, baik itu sebagai seorang atlet, ekonom, bahkan presiden. Dengan itu, jika Hari Kartini dimaknai dan dirayakan sesuai dengan yang seharusnya, Hari Kartini dapat menjadi salah satu kunci dalam usaha mengatasi kesenjangan gender di nusantara.
Kesenjangan gender di Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan, masih terlihat dengan sangat jelas. Hari Kartini seharusnya tidak lagi dimanfaatkan sebagai perayaan norma gender tradisional, tetapi sebaiknya dijadikan sebuah sarana untuk menjunjung tinggi kesetaraan gender. Hal ini pun dapat dicapai melalui program-program baru seperti lomba akademis, terutama yang lebih menyoroti minat dan bakat para siswa perempuan, atau edukasi yang lebih mendalam mengenai sejarah perjuangan emansipasi wanita dan kesetaraan pendidikan Selain itu, sekolah-sekolah dapat menggunakan Hari Kartini untuk merefleksikan dan membongkar stereotip gender yang masih terasa dalam lingkungan pembelajaran. Misalnya, para guru dapat memanfaatkan Hari Kartini untuk mendorong siswa-siswa dari segala jenis kelamin untuk saling menghargai dan bekerja sama di dalam kelas. Pada akhirnya kita harus menjunjung tinggi kesetaraan gender. Marilah kita merubah kebiasaan perayaan Hari Kartini!
Penulis: Bianca Lee Josunarto
Siswa SMA Santa Ursula Jakarta