Nyi Ngobaran: Saksi Hidup Kekacauan Politik Kerajaan Majapahit yang Bermakam di Purworejo

Nyi Ngobaran
Bangunan Makam Nyi Ngobaran.

Kemunduran peradaban yang berakhir pada runtuhnya Kerajaan Majapahit meninggalkan banyak sekali pertanyaan mengenai rekam jejak peristiwa keruntuhan Kerajaan Majapahit. Umumnya banyak pihak yang berteori ataupun berspekulasi mengenai hal tersebut, seperti kemanakah Prabu Brawijaya V setelah Majapahit runtuh?

Di manakah letak makam beliau? Dan pertanyaan-pertanyaan yang biasa muncul saat terjadinya sebuah peristiwa bersejarah. Namun banyak orang yang terpaku pada hal tersebut, hingga tak banyak yang tahu bahwa Prabu Brawijaya V mempunyai banyak sekali istri dan juga selir. Dari sekian banyaknya istri dan selir itulah Prabu Brawijaya V mempunyai 117 anak keturunan.

Pada saat tejadi kekacauan politik di masa Brawijaya V, banyak sekali putra-putri Brawijaya V yang nasibnya tidak diketahui. Putra-putri yang tercatat dalam sejarah umumnya telah menjadi penguasa di wilayah taklukan Majapahit, atau menjadi istri seorang bangsawan.

Namun mayoritas putra-putri Brawijaya V pergi meninggalkan kerajaan saat terjadi kekacauan yang berujung pada keruntuhan Kerajaan Majapahit. Mereka hanya mempunyai satu tujuan: pergi sejauh mungkin hingga mereka merasa menemukan tanah yang aman untuk ditinggali.

Di Kabupaten Purworejo, tepatnya di Desa Soko, Kecamatan Bagelen terdapat makam yang diyakini sebagai makam salah satu putri keturunan Brawijaya V. Oleh masyarakat sekitar makam tersebut milik Nyi Ngobaran.

Oleh juru kunci makam tersebut, Priswo Karsono menyebutkan bahwa Nyi Ngobaran merupakan putri keturunan penguasa Majapahit yang pergi dari kerajaan saat terjadi kekacauan. Namun Priswo juga menambahkan bahwa nama “Nyi Ngobaran” bukanlah nama asli dari beliau yang dimakamkan di Desa Soko, namun nama aslinya adalah Nyai Salamah.

“Nyai Salamah itu dulunya keturunan Prabu Brawijaya. Beliau pergi, kabur dari Majapahit saat terjadi kekacauan di Majapahit. Dulu beliau pergi dari kerajaan tanpa mempunyai arah tujuan, tanpa membawa rombongan pengawalan. Pergi kesana kemari mencari tempat yang aman hingga Nyai Salamah merasa bahwa tanah yang dipijaknya itu layak dan aman untuk ditempati. Kini menjadi desa ini, Desa Soko,” terang Priswo.

Jelas Priswo, setelah merasa aman untuk ditempati, Nyai Salamah kemudian membuka hutan dan mulai mendiami tanah tersebut. Dan oleh Nyai Salamah tanah itu dinamai Soko, dan kini menjadi nama desa.

Imbuh Priswo, dahulu kala Nyai Salamah masih berusia muda saat sampai di Desa Soko. Beliau kemudian meninggal di Desa Soko. Dan penyebab kematiannya pun tidak seperti normalnya kebanyakan orang. Nyai Salamah meninggal dengan cara melakukan Pati Obong.

Yakni sebuah ritual di mana sang pelaku menceburkan diri ke dalam kobaran api. Belum diketahui apa penyebab Nyai Salamah mengakhiri hidup dengan cara tersebut, juga tidak ada catatan tertulis mengenai hal tersebut.

Namun akibat ritual tersebut, masyarakat sekitar memberi julukan kepada Nyai Salamah dengan julukan “Nyi Ngobaran” yang berarti wanita yang berkobar di dalam kobaran api. Julukan Nyi Ngobaran kemudian diabadikan menjadi nama jalan desa di Desa Soko.

Keterangan dari juru kunci, makam ini tidak selalu dikunjungi oleh peziarah setiap hari. Ini terjadi karena pada saat wafat, Nyi Ngobaran berstatus sebagai gadis. Oleh karena itu tidak ada anak keturunan yang biasa mengunjungi serta merawat makam seorang leluhur, seperti yang biasa terjadi pada makam-makam leluhur pada umumnya.

Juga tidak ada pantangan-pantangan yang harus dilalui ketika hendak berkunjung ke makam ini, yang membuat makam ini terasa lebih nyaman dikunjungi oleh pengunjung, sekalipun untuk orang yang belum pernah mengunjungi makam leluhur.

Tentunya bagi pembaca tidak perlu merasa takut ataupun beranggapan bahwa segala tempat peninggalan bersejarah merupakan tempat mistis. Makam ini juga dapat dikunjungi baik siang hari maupun malam hari, kendati pada malam hari akses jalan menuju makam Nyi Ngobaran sangat gelap.

Penulis: Rayhan Arcana Risq
Mahasiswa Film dan Televisi Institut Seni Indonesia Surakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *