Euforia proklamasi tidak dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Semarang. Nyatanya, di waktu yang sama masyarakat Semarang khususnya para pemuda masih disibukkan dengan persiapan kemerdekaan.
Walaupun pada kala itu sudah ada beberapa masyarakat Semarang yang mengetahui bahwa Proklamasi telah diproklamirkan, namun masyarakat Indonesia belum sepenuhnya merdeka dan terbebas dari belenggu Jepang.
Hal ini terbukti dari peraturan Jepang yang masih membatasi masyarakat Semarang dalam penggunaan Bahasa Indonesia, pengibaran bendera Merah Putih, dan administrasi kekuasaan daerah yang masih dikuasai oleh Jepang.
Hal tersebut mendorong masyarakat Semarang untuk membebaskan diri dari kekuasaan Jepang yang pada akhirnya membentuk serangkaian peristiwa pertempuran sebagai usaha untuk mencapai “kemerdekaan”.
Pada tanggal 13 Oktober 1945 pemuda di Semarang berusaha menguasai senjata milik Jepang (Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang : 97). Masih adanya senjata di tangan bala tentara Jepang dipandang sebagai duri yang dapat membahayakan kemerdekaan. Itulah sebabnya, di berbagai tempat mereka berusaha mendapatkan senjata serta melucuti tentara Jepang. Namun, senjata yang diserahkan kosong tanpa peluru dan kebanyakan dalam keadaan rusak. Pada hari yang sama, Nakamura mengerahkan pasukan militer untuk memindahkan tawanan dari Magelang dan Ambarawa ke Penjara Bulu di Semarang sehingga menimbulkan kecurigaan terhadap pemuda.
Di hari berikutnya, tepat pada tanggal 14 Oktober 1945 tersiar kabar bahwa Jepang telah meracuni persediaan air minum Siranda. Setelah mendengar kabar tersebut Dr. Kariadi segera melakukan penelitian laboratorium. Sayangnya ketika melewati Jln. Pandanaran ia terbunuh. Di sisi lain, para pemuda yang telah mendengar kabar bahwa tawanan Jepang yang ada di Penjara Bulu akan melakukan pemberontakan, sehingga mereka melakukan persiapan di wilayahnya masing-masing.
Pada malam harinya, Nakamura memberi kabar bahwa besok pagi, tanggal 15 Oktober 1945 pasukan Kido mulai bergerak untuk berperang. Polisi Istimewa meminta pimpinan Jepang untuk mengadakan apel dan memberikan arahan kepada para tahanan untuk mengondisikan situasi yang sedang tidak aman tersebut. Ternyata, ia malah memberikan komando untuk menyerang para angota polisi (Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang : 127-128).
Sehingga pada tanggal 15 Oktober 1945 meletuslah pertempuran 5 hari di Semarang yang ditandai dengan banyaknya peperangan di seluruh penjuru Semarang. Hingga akhirnya pada hari Rabu 17 Oktober 1945, yang bertempat di Markas Polisi Militer Jepang, dengan resmi telah diadakan perundingan mengenai penghentian pertempuran yang ditandai dengan terbitnya maklumat untuk menghentikan pertempuran dari kedua belah pihak.
Penulis: Ainin Dhiya Maharani, Alviana Chairunnisa, Jasmine Amalia Rosyidin, Oktavia Dwi Ramadhani
Siswa Jurusan IPS SMA Negeri 1 Semarang