Strategi Menumbuhkan Budaya Mutu dalam Membangun Daya Saing Global

BUDAYA ORGANISASI
Ilustrasi: istockphoto

LATAR BELAKANG

Daya saing global memaksa kita untuk memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentunya revolusi Industri 4.0 dan ekonomi digital merupakan tantangan yang harus disikapi oleh seluruh aspek, baik mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, manufaktur, dan aspek lainnya.

Salah satu cara untuk membangun daya saing global adalah dengan menumbuhkan budaya mutu. Menurut Kujala dan Ullrank (2004:48), memahami pengertian budaya mutu hendaknya dipahami terlebih dahulu akar dari budaya mutu yaitu budaya organisasi, karena budaya mutu merupakan subset dari budaya organisasi.

Menurut Robbins (2001:525), budaya organisasi merupakan sistem terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi.

Definisi budaya mutu menurut Goetsch D.L dan Davis D.L (2002:110). adalah sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan mutu secara terus menerus. Budaya mutu terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, tradisi, prosedur, dan harapan yang meningkatkan kualitas.

Sehingga dari pengertian budaya mutu menurut para ahli di atas, kita dapat mengambil langkah apabila terjadi perubahan budaya mutu di suatu organisasi, maka harus dimulai dengan pandangan yang berbeda, antara lain:

  • Siapa yang terpengaruh dari perubahan dan bagaimana pengaruhnya?
  • Bagaimana perubahan akan diterima dari pengaruh tersebut?
  • Apakah mereka yang terkena pengaruhnya bisa di kendalikan?

Beberapa strategi untuk membangun budaya mutu adalah mengidentifikasi perubahan yang dibutuhkan, memasukkan perubahan yang direncanakan  secara tertulis, mengembangkan rencana untuk membuat perubahan, memahami proses transisi emosional, mengidentifikasi orang-orang dan mendukung, dan mengambil pendekatan hati dan pikiran.

Seperti halnya di dunia industri manufaktur merupakan sektor ekonomi yang memiliki organisasi dimana mencoba membuat tenaga kerja untuk dapat termotivasi dengan cara menumbuhkan budaya mutu antar lingkup organisasi satu dengan yang lainnya.

PEMBAHASAN

1. PEMAHAMAN BUDAYA ORGANISASI DAN BUDAYA KUALITAS

Pemahaman budaya organisasi dimulai dari definisi budaya organisasi beserta aspek-aspek dan karakteristiknya, fungsi dan dinamika, pembentukan budaya organisasi dan kekuatan budaya organisasi yang akan diuraikan berikut ini.

Keberadaan suatu organisasi atau perusahaan pada umumnya mempunyaitujuan jangka panjang yang dilandasi untuk menghasilkan nilai-nilai tambahdan manfaat bagi  stakehoulders  yang meliputi para pemegang saham, karyawan, mitrakerja, dan masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan nilai-nilai tambah dan mafaat tersebut, perusahaan harus mempunyai visi, misi, tujuan, strategi, program kerja yang terencana dan terfokus, serta berkesinambungan.

Dalam upaya memberikan kepastian akan pencapaian tujuan jangka panjang tersebut, perusahaan memerlukan daya dukung dalam bentuk empat pilar utama, yaitu sumberdaya manusia yang bermutu dan profesional, sistem dan teknologi yang terpadu, strategi yang tepat, serta logistik yang dibutuhkan. Dalam pengelolahan operasioanal perusahaan dalam jangka panjang dan kontinu, peran sumberdaya manusia mempunyai kedudukan sentral dan strategis, karena merupakan unsur utama dalam menciptakan dan merealisasikan peluang bisnis.

Dalam upaya pemberdayaan karyawan agar menghasilkan karyawan yang profesional dengan integritas yang tinggi, diperlukan suatu acuan baku diberlakukan dalam perusahaan. Acuan tersebut adalah budaya organisasi yang secara sistematis menuntun para karyawan untuk meningkatkan komitmen kerjanya bagi perusahaan. Menurut Moeljono (2005: 52), budaya organisasi merupakan sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota organisai yang dipelajari, ditetapkan serta dikembangkan secara kontinu, berfungsi sebagai sistem perekat dan dapat dijadikan acuan berprilaku dalam berorganisasi untuk mencapai tujuan perusahaan. Budaya organisasi adalah perwujudan sehari-hari dari nilai-nilai dan tradisi yang mendasari organisasi tersebut. Hal ini terlihat pada bagaimana karyawan berperilaku, harapan karyawan terhadap organisasi dan sebaliknya, serta apa yang dianggap yang wajar dalam hal bagaimana karyawan melaksanakan pekerjaan. Budaya organisasi atau perusahaan mengandung beberapa aspek pokok (Bounds, 1994:100) seperti berikut.

  1. Budaya merupakan konstruksi sosial unsur-unsur budaya seperti nilai nilai, keyakinan dan pemahaman, yang dianut oleh semua anggota kelompok.
  2. Budaya memberikan tuntutan bagi para anggotanya dalam memahami suatu kejadian .
  3. Budaya berisi kebiasaan atau tradisi
  4. Dalam suatu budaya, pola nilai-nilai, keyakinan, harapan pemahaman dan perilaku timbul dan berkembang sepanjang waktu.
  5. Budaya mengarahkan perilaku: kebiasaan atau tradisi merupakan perekat yang mempersatukan suatu organisasi dan menjamin bahwa para anggotanya berperilaku sesuai dengan norma.
  6. Budaya masing-masing organisasi bersifat unik.

Budaya organisasi atau perusahaan merupakan filosofis yang dapat difungsikan sebagai tuntutan yang mengikat para karyawan dan diformulasikan secara formal dalam berbagai peraturan dan ketentuan perusahaan. Dengan membakukan budaya organisasi sebagai acuan ketentuan atau peraturan yang  berlaku, maka para pemimpin dan karyawan secara tidak langsung akan terikat sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku sesuai dengan visi, misi, dan strategi perusahaan. Proses pembentukan tersebut akhirnya akan menghasilkan pemimpin dan karyawan profesional yang mempunyai integritas yang tinggi.

Dari uraian tersebut dapat dismpulkan bahwa dapat melakukan akultrasi budaya organisasi, selain akan menghasilkan karyawan yang berkualitas, juga jadi penentu sukses perusahaan. Banyak perusahaan dengan budaya organisasi yang efektif dapat meningkatkan produktivitas, rasa ikut memliki perusahaan dari karyawan dan ahirnya meningkatkan keuntungan perusahaan.

Ada beberapa faktor penting yang menentukan perilaku manajemen suatu perusahaan, yaitu budaya organisasi, struktur, sistem, rencana, kebijakan formal, kepemimpinan, dan lingkungan perusahaan yang kondusif. Menurut penelitian John P. Kotter dan James L, Heskett (1992) membuktikan ada empat prinsip utama yang akan tercapai dengan budaya organisasi yang efektif, yaitu:

  • budaya organisasi akan meningkatkan kinerja ekonomi jangka panjang
  • akan menjadi suatu faktor dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan
  • akan mengurangi penggunaan dana dalam jumlah yang besar, dan
  • para karyawan akan makin meningkat profesional dan keterampilannya.

Kesadaran para pemimpin dan karyawan terhadap budaya organisasi akan memengaruhi produktivitas perusahaan dan memberikan motivasi yang kuat untuk mempertahankan , memelihara, mengembangkan budaya organisasi, tersebut sehingga merupakan daya dorong yang kuat untuk kemajuan perusahaan. Menurut Graves (dalam Moeljono , 2005: 9 ), terdapat tiga sudut pandang mengenai budaya organisasi, yaitu

(1) Budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi beroperasi, peraturan yang menekan dan sebagainya; (2) budaya merupakan produk struktur dan funsi yang ada dalam organisasi, misalnya organisasi yang tersentralisasi berbeda dengan organisais terdesentralisasi; (3) budaya merupakan produk sikap dan perilaku seluruh orang dalam organisasi yang berarti produk perjanjian psikologis antara individu dengan organisasi.

Menurut Robbins (dalam Moeljono, 2005: 11) ada tujuh karakterisik budaya organisasi, yaitu (1) inovasi dan keberanian mengambil resiko ; (2) mempunyai perhatian secara detil; (3) berorientasi pada hasil; (4) berorientasi kepada manusia; (5) berorientasi tim; (6) agresif; dan (7) stabil.

Selain itu Schein (dalam Carrell et, al, 1997 ) memberikan beberapa karakteristik dalam mendefinisikan budaya organisasi, yaitu

(1) values, the dominand values espoused by an organizationz (2) the philoshopy that guide and organizations policies towardsits employes and customers; (3) norms of behavior that involvein working grub; (4) politics; (5) the rules of the game for getting alng in the organization; (6) the climate of work which conveyed by physical layout an the way people interact; (7) behavior of people when they interact such as the language and demeanor : the social interaction.

Menurut Robbins (dalam Moeljono, 2005: 13) terdapat sepuluh karakteristik yang dipakai sebagai acuan esensial dalam memahami dan mengukur keberadaan budaya (1) Individu, (2) Toleransi resiko, yaitu tingkat pengambilan resiko, invasi dan keberanian individu, (3) Arahan, yaitu kemampuan organisasi dalam menciptakan kreasi terhadap sasaran dan harapan kinerja, (4) Integrasi, yaitu kemampuan organisasi dalam melakukan koordinasi yang menjadi satu kesatuan gerak. (5) Dukungan manajemen, yaitu kemampuan manajemen dalam proses komunikasi, pembimbingan dan memberikan dukungan terhadap karyawan. (6) Kontrol, yaitu seberapa besar aturan, dan arahan supervisi yang mampu mengontrol perilaku kerja karyawan. (7) Identitas, yaitu seberapa kuat jati diri sosial organisasi dalam diri karyawan, (8) Sistem imbalan, yaitu sejauh mana alokasi imbalan berdasarkan atas kinerja, (9) Toleransi konflik, yaitu kesempatan karyawan untuk mengungkapkan konflik secara terbuka. (10) Pola komunikasi, yaitu pola seberapa jauh komunikasi yang dibangun organisasi membatasi hierarki secara formal.

2. FUNGSI, DINAMIKA, DAN TERBENTUKNYA BUDAYA ORGANISASI

Menurut Robbins (dalam Moeljono,2005: 15), budaya organisasi mempunyai empat fungsi organisasi, yaitu (1) budaya mempunyai suatu peran pembeda dengan organisasi atau perusahaan lain; (2) membawa suatu rasa identitas bagi anggota – anggota organisasi; (3) mempermudah tumbuhnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan indivudual; (4) kemampuan sistem sosial. Dalam hubungannya dengan aspek sosial, budaya berfungsi sebagai perekat sosial yang membantu mempersatukan suatu organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat apa yang harus dikatakan dan dilakukan para karyawan. Akhirnya, budaya berfungsi sebagai mekanisme membuat makna dan kendala yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan (Gordon, 1998).

Budaya organisasi tidak muncul begitu saja dari suatu kehampaan. Menurut Atmossoeprapto(2001), ada beberapa unsur budaya organisasi, yaitu (1) lingkungan usaha, akan menentukan apa yang harus dikerjakan untuk mencapai keberhasilan. (2) nilai-nilai yang merupakan konsep dasar dan keyakinan suatu organisasi. (3) keteladanan, yaitu orang-orang menjadi teladan terhadap karyawannya karena keberhasilannya. (4) upacara-upacara, yaitu acara rutin yang diselenggarakan perusahaan dalam memberikan penghargaan para karyawannya yang berprestasi. (5) network, jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai budaya.

Dalam pembentukan budaya organisasi dilakukan melalui proses penyesuaian yang dikenal dengan sosialisasi, yaitu proses adaptasi para karyawan kepada budaya organisasi. Menurut Robbins (2001: 522), proses sosialisasi merupakan konsep suatu proses yang terdiri dari atas tiga tahap, yaitu prakedatangan, pertemuan dan metamorfosis. Tahap prakedatangan terjadi sebelum proses seseorang anggota baru bergabung dengan suatu organisasi.

Tahap pertemuan karyawan baru tersebut melihat seperti apakah organisasi tersebut sebenarnya dan menghadapi kemungkinan harapan dan kenyataan yang berbeda. Dalam tahap metamorfosis, perubahan relatif lama akan terjadi. Karyawan baru tersebut akan mengusai keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan, dan berusaha berhasil dalam melakukan perannya dan penyesuian nilai serat norma kelompok kerjanya. Proses tiga tahap ini kan meningkatkan produktivitas kerja, komitmen pada tujuan organisasi dan keputusan untuk tetap bersama dalam organisasi tersebut.

Budaya asli diturunkan dari filsafat pendiri organisasi. Selanjutnya, budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam memperkerjakan karyawan. Tindakan manajemen puncak dewasa ini menentukan perilaku yang dapat diterima. Bagaimana karyawan harus disosialisasikan, akan tergantung baik pada tingkat sukses yang dicapai dalam menyesuaikan nilai-nilai karyawan. Strategi ini meliputi dukungan material, moral, dan emosional yang dibutuhkan orang dalam menjalin perubahan. Selain kedelapan langkah dalam pembentukan budaya kualitas diatas, ada enam tahapan dalam proses rekayasa ulang budaya. Proses rekayasa ulang meliputi berikut ini.

a.  Menjual konsep budaya yang memerlukan keterampilan .

b.  Menentukan sasaran atau cakupan pekerjaan yang akan diperbaiki

c.  Merumuskan budaya perusahaan

d.  Ekstraksi elemen budaya positif dan negatif

e.  Analisis kesenjangan, untuk menentukan strategi internalisasi yang harus di lakukan

f.  Pelakasanaan internalisasi budaya perusahaan.

Budaya dalam total quality management mencangkup delapan unsur berikut:

Unsur budaya 1 : Informasi kinerja dan kualitas

Informasi mengenai kualitas harus digunakan untuk perbaikan dan bukan untuk mengadili atau mengawasi anggota. Ini berarti bahwa informasi mengenai kinerja dan kualitas harus disampaikan kepada mereka yang menggunakan untuk mengerti persoalan yang ada guna mencari solusi dan mengambil tindakan yang diperlukan demi perbaikan.

Unsur budaya 2 : Pemberian wewenang

Kewewenangan harus berimabng dengan tanggung-jawab. Ini berarti karyawan yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan mencapai hasil tertentu harus diberi wewenang yang diperluakn untuk melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif.

Unsur budaya 3 : Penghargaan

Harus ada penghargaan terhadap hasil yang dicapai. Hal ini berarti bahwa individu, tim dan seluruh anggota organisasi harus ikut mengeyam hasil jerih payahnya secara adil.

Unsur budaya 4: Kerjasama

Kerjasama, bukan persaingan, yang menjadi dasar bagi pekerja tim. Jadi, sejauh mungkin para anggota organisasi harus saling membantu dalam melakukan pekerjaannya.

Unsur budaya 5 : Jaminan kerja

Karyawan harus memperoleh jaminan keamanan kerja. Dalam hal ini karyawan harus mengetahui bahwa pekerjaan aman. Ini berarti bahwa mereka jangan sampai diberhentikan begitu saja seperti peralatan yang sudah usang.

Unsur budaya 6 : keadilan

Harus terdapat keadilan. Setiap anggota organisasi harus mempunyai persepsi bahwa didalam organisasi terdapat iklim keadilan. Berdasarkan perilaku dan tindkan manajer pada semua tingkat.

Unsur budaya 7: Kompensasi

Kompensasi harus adil. Hal ini berarti sistem gaji dan imbalan apapun harus wajar sesuai tugas, wewenang dan tanggung jawab.

Unsur budaya 8 : Rasa ikut memiliki

Setiap anggota organisasi harus mempunyai rasa ikut memiliki organisasi. Ini dimaksudkan agar setiap anggota organisasi mempunyai kebanggaan akan pekerjaanya dan berusaha meningkatkan performansi demi pencapaian tujuan organisasi.

Dengan menggunakan budaya kualitas yang baru, terdapat banyak pengaruh yang dapat mengalami peruabahan yang meliputi delapan unsur yang saling berinteraksi, yaitu model perilaku kepemimpinan, peran manajemen, sistem penghargaan, tujuan operasi, susunan karyawan dan kriteria, pendidikan, latihan dan pengembangan karyawan, proses dan sistem keterlibatan karyawan. Pengaruh dan saling keterkaitan ke delapan unsur tersebut dalam mementuk budaya kualitas yang baru seperti pada gambar laverge point for change.

Gambar Laverge point for change.

3. PROSES TRANSFORMASI BUDAYA

Dalam proses transformasi budaya harus dilakukan secara hati-hati dan sangat cermat karena menyangkut hal yang sangat peka dari sudut pandang perilaku manusia. Nilai budaya adalah inti dari perilaku manusia yang menetukan perilaku organisasi. Langkah-langkah dalam melakukan transformasi budaya meliputi berikut ini:

Asesmen

Asesmen merupakan diagnosa untuk memahami bagaimana kondisi budaya perusahaan yang ada. Asesmen akan menghasilkan pemetaan budaya yang

Budaya yang Diterapkan

Asip Hadipranata (dalam Moeljono, 2005:98) mengembangkan konsep tahapan imlementasi nilai budaya pada teknologi yang dikembangkan oleh COCD, yaitu (1) seluruh anggota organisasi merasa ada nilai diantara mereka yang di share secara bersama-sama, (2) seluruh anggota organisasi mempercayai nilai nilai apa yang mereka rasakan, (3) sseluruh anggota organisasi yakin nilai-nilai yang dipercaya mengandung kebenaran dan bermanfaat bila dilaksanakan, dan (4) seluruh anggota organisasi berniat untuk melaksanakan nilai budaya perusahaan. Untuk mempercepat dan mempertahankan proses implementsi nilai budaya, ada 5 hal yang dijadikan agenda (Moeljono, 2005:99): yaitu (1) konsistensi, dimana dari tingkat puncak sampai tingkat bawah harus konsisten menjalankan nilai budaya; (2) disiplin, yaitu tidak ada kata nanti untuk melaksanakan nilai budaya; (3) dirawat/dipelihara, yaitu perlu dipelihara dan dirawat agar kelak tidak terjadi penyimpangan ; (4) pewarisan dari generasi ke genarasi, khususnya nilai budaya yang menentukan nilai kompetitif perusahaan ; (5) diperkuat sistem, yaitu salah satu turunan budaya perusahaan adalah peraturan perusahaan. Budaya perusahaan harus menjadi jiwa dari sistem perusahaan.

4. PENOLAKAN TERHADAP PERUBAHAN BUDAYA

Umumnya, setiap perubahan ada yang menolak atau menentang dalam setiap organisasi. Penolakan terhadap perubahan merupakan perilaku organisasi normal. Dalam hal ini, suatu organisasi mirip dengan organisasi biologis. Dari perspektif budaya organisasi, mahluk asingnya adalah perubahan, dan organismenya adalah organisasi yang akan berubah. Perubahan terus-menerus mengandung makna perubahan terus-menerus. Untuk menjamin perbaikan terus-menerus, organisasi harus dapat mempermudah perubahan terus-menerus.

Kebanyakan orang memahami dan menerima bahwa perubahan organisasi akan ditentang. Oleh karena itu, agar dapat menjadi agen perubahan yang efektif, seseorang harus memahami mengapa hal itu ditolak. Juran menggambarkan perubahan organisasi sebagai “pertentangan antar budaya “. Dalam setiap organisasi biasanya ada pendukung perubahan dan pertentangan.

Untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan perlu diterapkan langkah- langkah yang dapat mempermudah perubahan. Langkah-langkah ini dijelaskan sebagai berikut :

Mengadopsi Paradigma Baru yang Mendukung Perubahan

Paradigma tradisional para pendukung perubahan adalah sebagai berikut.

  1. Pendukung perubahan terlalu berfokus hanya pada hasil dan manfaat yang diharapkan.
  2. Pendukung perubahan sering kali tidak menyadari bagaimana para penentang potensial mempersepsikan perubahan yang dusulkan.
  3. Pendukung perubahan sering kali tidak sabar terhadap perhatian atau keprihatinan para penentang.

Apabila perubahan akan terjadi, para pendukungnya harus memulai paradigma yang berbeda. Jika perubahan didukung, pertanyaan-pertanyaan berikut perlu mendapat perhatian siapa yang akan dipengaruhi oleh perubahan tersebut dan bagaimana pengaruhnya?. Bagaimana perubahan tersebut dirasakan oleh mereka yang terkena pengaruhnya?. Bagaimana persoalan orang yang dipengaruhi perubahan dapat dikurangi?.

Memahami Persoalan Para Penetang Potensial

Memiliki sikap empati atau diri pada sisi pandang dan posisi para penentang. Ada beberapa alasan yang mendasari penolakan terhadap perubahan, yaitu seperti berikut.

  1. Keterkejutan dan kekhawatiran akan sesuatu yang tidak diketahui. Bila perubahan yang inovatif atau secara radikal berbeda diperkenalkan tanpa pemberitahuan sebelumnya, maka para karyawan yang dipengaruhi perubahan tersebut khawatir akan implikasinya.
  2. Iklim ketidakpercayaan atau kecurigaan. Sikap saling curiga dapat mengakibatkan pelaksanaan rencana perubahan tidak berjalan lancar, sekalipun rencana tersebut sangat baik.
  3. Takut gagal. Perubahan pekerjaan yang bersifat intimidasi dapat menyebabkan para karyawan meragukan kemampuan mereka sendiri. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan diri serta terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan pribadi karyawan.
  4. Kehilang status dan atau keamanan pekerjaan. Perubahan-perubahan administratif atau teknologi yang mengancam kekuasaan atau mengeleminasi pekerjaan tertentu umumnya akan menjadi pemicu terbentuknya penolakan kuat.
  5. Pekerjaan yang lebih banyak. Kadangkala perubahan berarti semakin banyak pekerjaan, paling tidak pada permulaannya. Hal ini karean orang harus mempelajari informasi lebih banyak atau meningkatkan keterampilan baru sebelum mengadakan perubahan. Untuk periode yang tidak diketahui lamanya, mereka bekerja lebih lama.
  6. Tekanan rekan kerja. Seseorang yang tidak secara langsung dipengaruhi oleh suatu perubahan bisa saja secara aktif menolaknya untuk melindungi kepentingan-kepentingan teman dan rekan kerjanya.
  7. Gangguan terhadap tradisi budaya atau hubungan kelompok. Bilamana seseorang ditransfer, dipromosikan, atau ditugaskan kembali, dinamika budaya dan kelompok akan mengalami ketidakseimbangan.
  8. Konflik pribadian. Kepribadian dari agen perubahan dapat mempengaruhi penolakan terhadap perubahan. Bila agen tersebut tidak sukai, maka penolakan yang timbul akan semakin besar.
  9. Kurangnya dan atau waktu yang tidak tepat. Perubahan yang dilakukan dengan cara yang tidak pantas atau dalam waktu yang tidak tepat dapat menimbulkan penolakan.

Melaksanakan Strategi Mengembangkan Perubahan

Untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan, Juran merekomendasikan strategi-strategi berikut untuk diterapkan.

  1. Libatkan para penolakan potensial. Dengan melibatkan mereka dalam tahap perencanaan perubahan, maka organisasi dapat menjamin bahwa mereka memahaminya dan memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pandangan dan persoalannya mengenai perubahan itu. Keterlibatan ini juga dapat menimbulkan rasa kepemilikan dalam perubahan, yang pada gilirannya dapat mengubah para penolak menjadi pendukung perubahan.
  2. Hindarilah kejutan-kejutan. Perubahan bersifat tidak diramalkan dan mengandung ketidakpastian. Hal ini menyebabkan orang menolak perubahan. Oleh karena itu, sebaiknya para penolak potensial dilibatkan dalam proses perubahan tersebut sehingga mereka tidak mengalami kejutan.
  3. Mulailah secara perlahan pertama kali. Untuk mendapatkan dukungan dari para penolak potensial, organisasi perlu memberikan waktu kepada mereka untuk mengevaluasi usulan perubahan, mengungkapkan permasalahannya, mempertimbangkan manfaatnya, dan mencari cara untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi.
  4. Mulailah dari yang kecil dan bersikaplah luwes. Perubahan akan dapat lebih diterima bila para pendukungnya mulai dari yang kecil dan bersikap luwes untuk meninjau kembali strategi yang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan
  5. Ciptakan lingkungan yang positif. Lingkungan tempat terjadinya perubahan ditentukan oleh sistem kompensasi dan penghargaan serta contoh yang ditetapkan oleh para manajer. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem kompensasi dan penghargaan yang dapat mengimbangi resiko yang dihadapi, serta penghargaan atas ide-ide perbaikan, meskipun bila ide tidak berhasil.
  6. Masukkanlah perubahan tersebut. Perubahan akan dapat diterima dengan lebih mudah bila dimasukkan dalam budaya organisasi yang sudah ada.
  7. Berikan quad pro qua. Strategi mengandung pengertian bahwa bila memerlukan sesuatu, berikanlah pula sesuatu. Misalnya perubahan menuntut usaha exstra dari sebagian karyawan selama periode waktu tertentu, maka organisasi harus memberikan kompensasi tambahan atas perubahan itu. Dengan demikian, para karyawan tersebut akan merasa dihargai.
  8. Berikan tanggapan dengan cepat dan secara positif. Bila para penolak potensial mengajukan pertanyaan atau mengungkapkan persoalannya, maka para pendukung harus memberikan tanggapan secra cepat dan positif. Dengan demikian, persoalan yang ada dapat teratasi sebelum menjadi suatu masalah. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa setiap persoalan karyawan dianggap penting.
  9. Berjalan dengan pemimpin-pemimpin yang diakui. Dalam setiap organisasi ada orang yang dianggap sebagai pemimpin. Pemimpin ini bisa orang yang memiliki kedudukan tertentu ( penyelia, manajer madya, ketua tim, dan lain-lain ) dan bisa juga pemimpin informal ( karyawan yang sangat dihargai karena pengalaman atau pengetahuan dan keterampilan yang tinggi ). Didukung dari para pemimpin ini sangat penting karena karyawan lain menjadikan mereka sebagai panutan. Cara terbaik untuk mendapatkan dukungan mereka adalah dengan melibatkan mereka dalam perencanaan perubahan dari tahap permulaan.
  10. Hargai dan Hormati setiap orang. Strategi ini sangat mendasari dalam segala aspek total kualitas dan membutuhkan perilaku yang menghargai sumber daya manusia sebagai sumber daya organisasi yang paling tinggi daripada yang lainnya.
  11. Bersikaplah konstruktif. Perubahan tidak dilakukan semata-mata hanya untuk berubah, tetapi dilakukan untuk perbaikan secara terus-menerus. Karena itu, harus dimulai secara konstruktif dari perspektif bagaimana perubahan tersebut dapat menghasilkan perubahan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan kini sebenarnya telah, sedang dan akan terus dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan. Mulai dari peningkatan kualitas pendidikan pra sekolah, dasar, menengah sampai dengan perguruan timggi. Salah satu upaya yang dewasa ini sedang disosialisasikan dan dianggap tepat adalah melalui Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu (MMT). Esensi dari TQM adalah suatu filosofi dan menunjuk pada perubahan budaya dalam suatu organisasi (pendidikan), serta dapat menyentuh hati dan pikiran orang menuju mutu yang diidamkan.

Konsep Total Quality Management (TQM) dikembangkan pertama kali pada tahun 1950-an (setelah berakhirnya Perang Dunia II) oleh seorang ilmuwan AS bernama Dr. W. Edwards Deming, dalam rangka memperbaiki mutu dari produk dan pelayanan yang dihasilkan oleh industri-industri di Amerika Serikat. Dr. Deming adalah salah seorang ahli statistik terkenal di AS, pada saat itu konsep ini tidak begitu diperhatikan secara serius oleh bangsa Amerika sampai akhirnya Dr. Deming ditugaskan ke Jepang bersama sejumlah tenaga ahli AS lainnya. Para ahli tersebut dikirim oleh pemerintah AS dalam rangka membawa pengaruh barat ke Jepang. Di Jepang ia kemudian mengadakan diskusi-diskusi dan seminar-seminar tentang prinsip-prinsip efisiensi industri, dimana diskusi ini diikuti secara serius oleh 45 orang CEO dari perusahaan-perusahaan di Jepang.

Bagian penting TQM yang sulit penerapannya adalah menciptakan, memelihara, dan menjaga keberlangsungan budaya TQM. Sebelumnya apakah yang disebut budaya mutu? Apa saja elemen-elemennya? Dan bagaimanakah hubungan antara budaya mutu ini dengan TQM? Pertanyaan ini akan menuju pada inti pendekatan TQM. Dalam makalah ini akan membahas tentang sifat dari budaya TQM.Bentuk budaya sangat komplek. Dalam membentuk budaya organisasi, kepercayaaan dan nilai saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. Agar dapat dimengerti dengan baik, budaya TQM ini dibagi menjadi delapan elemen penting yaitu sebagai berikut:

  1. Etika
  2. Integritas (kejujuran)
  3. Kepercayaan
  4. Pelatihan (training)
  5. Kerja tim (team work)
  6. Kepemimpinan (leadership)
  7. Penghargaan (recognition)
  8. Komunikasi

TQM telah diciptakan untuk menggambarkan sebuah filsafat yang menjadikan mutu sebagai tenaga penggerak di belakang kepemimpinan, desain, perencanaan, dan inisiatif perbaikan. Untuk hal itu, TQM membutuhkan bantuan dari kedelapan elemen kunci di atas. Elemen-elemen ini selanjutnya dapat dikelompokkan lagi ke dalam empat bagian berdasarkan fungsinya dalam membentuk struktur bangunan TQM. Keempat bagian tersebut adalah:

I. Pondasi – mencakup: etika, integritas dan kepercayaan

II. Batu Bata – mencakup: pelatihan, kerja tim, dan kepemimpinan

III. Campuran Semen Pengikat – mencakup: komunikasi

IV. Atap – mencakup: Penghargaan

Penulis: 

Dedi Supriyatno (2315300021)
Mahasiswa Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Pembangunan Panca Budi

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

Juan Menga,⁎, Bruce K. Bergerb The impact of organizational culture and leadership performance on PR professionals’ job satisfaction: Testing the joint mediating effects of engagement and trust, 2018.

Helena Šajgalíkováb, Emil Wojčáka, Lukáš Copuša Organizational Culture and its Motivational Potential in Manufacturing Industry: Subculture Perspective, 2019.

Erdem Ucar, Local creative culture and corporate innovation, 2018.

Thomas J. Kull *, John G. Wacker Quality management effectiveness in Asia: The influence of culture, 2009.

https://www.scribd.com/document/364387495/Budaya-Organisasi-Dan-Budaya-Kualitas

https://www.scribd.com/doc/301633571/Delapan-Elemen-Budaya-Mutu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *