Hukum Perdata

Hukum Perdata
Ilustrasi Hukum Perdata (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Pada mulanya, pengertian  hukum perdata memiliki definisi yang berbeda-beda oleh para ahli, walaupun berbeda tetapi tidak menunjukan perbedaan secara konteks.

Namun pada dasarnya para ahli mencetuskan hukum perdata sebagai ketentuan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur hak dan kewajiban dalam Masyarakat.

Hukum perdata memiliki banyak arti. Pasalnya, para ahli memiliki definisi tersendiri dalam mengartikan hukum perdata.

Pertama, pengertian hukum perdata menurut Soerjono Soekanto, hukum perdata adalah bagian dari hukum privat yang membahas tentang hubungan hukum antar individu atau badan hukum.

Pengertian hukum perdata menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hukum perdata adalah adalah hukum yang mengatur kepentingan antar warga negara perseorangan dengan satu warga negara perseorangan yang lain.

Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan, bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur ketetapan hak dan kewajiban, hubungan hukum dengan kepentingan individu dan badan hukum.

Defenisi yang pernah dikemukakan oleh beberapa pakar lain menunjukkan adanya persamaan hakikat dengan definisi yang penulis kemukakan. Prof. Subekti S.H., Hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat material”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.

Pada 1804, telah dibentuk sebuah hukum perdata bernama Code Civil de Francais, yang oleh masyarakat Eropa juga disebut Code Napoleon. Lima tahun berselang, Belanda jatuh ke tangan Perancis, yang berlangsung hingga 1811.

Seiring dengan peristiwa ini, Raja Perancis Lodewijk Napoleon menerapkan hukum Wetboek Napoleon Ingeriht Voor het Koninkrijk Hollad, yang isinya mirip dengan Code Civil de Francais.

Setelah kekuasaan Perancis berakhir, Belanda secara resmi menetapkan Code Napoleon dan Code Civil de Francais sebagai aturan hukum mereka. Kemudian, pada 1814, Belanda mengklasifikasikan aturan-aturan tersebut menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Terdapat suatu hubungan satu sama lain antara Hukum Perdata dengan Hukum Publik, dimana kepentingan individu tidak dapat dipisahkan dari kepentingan umum/publik, oleh karena manusia sebagai individu juga adalah anggota masyarakat. Jadi, kita tidak dapat membedakan, tetapi dapat memisahkan.

Adapun pro kontra, ada satu kesimpulan yang diperoleh tidak boleh dipisahkan karena Lembaga hukum bercampur antara hukum publik dan hukum perdata tidak bisa dipisahkan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus, tidak serta merta kepentingan individu dipisahkan dengan kepentingan umum

Adapun satu peranan hukum perdata dalam Mahkamah Agung melalui surat edaran nomor 3 tahun 1963 telah mengajukan “gagasan” agar BURGERLIJK WETBOEK (WB) tidak diaggap sebagai Udang-udang melainkan sebagai suatu dokumen yang menggambarkan suatu kelompok yang tertulis.

Sehingga secara implisit Mahkamah Agung pada masa itu melalui SEMA tidak ingin menjadikan B.W sebagai suatu sumber hukum yang mengikat B.W sebagai suatu sumber yang mengikat di Indonesia sekedar dengan undang-undang, melainkan sekedar referensi atas suatu jenis hukum tak tertulis yang bersifat privat.

Namun, faktanya hingga kini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek, selanjutnya disebut dengan BW tetap digunakan oleh banyak pihak dan dikutip oleh banyak putusan sebagai dasar hukum untuk memutus suatu sengketa. BW juga dianggap sebagai suatu kaidah hukum yang bersifat mengikat layaknya undang-undang.

Bahkan, lebih dari itu, norma-norma yang terdapat dalam BW seringkali digunakan oleh hakim dalam memutus sengketa-sengketa perdata di antara golongan Bumiputera.

Padahal sebagaimana jamak diketahui, ketentuan-ketentuan dalam BW pada prinsipnya hanya berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing, dan tidak berlaku bagi golongan Bumiputera.

Meskipun misalnya penggolongan penduduk dianggap sudah berlaku lagi dikarenakan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang hanya mengenal dua kewarganegaraan, yaitu Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing, tetap saja diperlukan penjelasan mengenai penerapan BW sebagai hukum perdata terhadap Warga Negara Indonesia.

Baca juga: Kekuasaan dan Hukum

Karena selain BW, masih terdapat banyak sumber hukum perdata lainnya seperti hukum adat dan hukum agama, yang pada saat bersamaan semuanya masih berlaku, sehingga menjadi permasalahan, kalau penggolongan penduduk berdasarkan Pasal 131 jo. Pasal Indische Staatsregeling sudah dianggap tidak ada lagi.

1. Asas Konsensualisme

Makna dari asas konsensualisme adalah para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat dalam setiap isi atau hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang dibuat. Asas konsensualisme tersirat dalam salah salah satu syarat sah perjanjian berdasarkan KUH Perdata.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak tersirat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa semua persetujuan (perjanjian) yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

3. Asas Pacta Sunt Servanda

Jika diterjemahkan dari bahasa latin, pacta sunt servanda berarti janji harus ditepati. Diterangkan Harry Purwanto dalam Mimbar Hukum Volume 21 No. 1, asas pacta sunt servanda adalah asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law yang dalam perkembangannya diadopsi dalam hukum internasional.

4. Asas Iktikad Baik

Iktikad baik bermakna melaksanakan perjanjian dengan maksud (iktikad) yang baik. Berdasarkan Simposium Hukum Perdata Nasional, iktikad baik hendaknya diartikan sebagai:

  1. Kejujuran saat membuat kontrak; pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabatan, para pihak dianggap beriktikad baik; dan,
  2. Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian, baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan kesepakatan dalam kontrak; atau semata-mata untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak.

5. Asas Kepribadian

Diterangkan M. Muhtarom dalam Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam Pembuatan Kontrak, asas kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan pribadi atau perseorangan saja.

Dalam KUH Perdata, asas hukum Pasal 1315 KUH Perdata yang menerangkan bahwa pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.

Pasal 1340 KUH Perdata yang menerangkan bahwa persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan.perdata ini tersirat dalam pasal berikut.

Kaitan hubungan Hukum Publik dan Hukum Privat/Perdata Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat.

Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa Kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).

Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.

Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan umum/masyarakat. Oleh perbedaan anatar hukum perdata dan hukum publik itu (menurut pembagian klasik) adalah sebagai berikut:

  1. Dalam hukum publik salah satu pihak adalah penguasa, sedangkan dalam hukum perdata kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam hukum perdata pun penguasa dapat menjadi pihak juga.
  2. Sifat hukum publik adalah memaksa, sedangkan hukum perdata pada umumnya bersifat melengkapi meskipun ada juga yang memaksa.
  3. Tujuan hukum publik adalah melindungi kepentingan umum, sedangkan hukum perdata melindungi kepentingan individu/perorangan.
  4. Hukum publik mengatur hubungan hukum antara Negara dengan individu, sedangkan hukum perdata mengatur hubungan hukum antara individu.

Perbedaan-perbedaan tersebut, sekarang tidak bersifat mutlak lagi, karena sudah mengalami perkembangan.

Oleh karena itu, menyebutkan bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua subyek hukum atau lebih mempunyai kedudukan yang sederajat, sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua subjek hukum atau lebih yang kedudukannya tidak sederajat. Jadi dalam hukum publik ada atasan dan bawahan.

Namun terlepas dari pada permasalahan serta pro kontra di Masyarakat dapat terlihat jelas Hukum Perdata memiliki peranan yang besar pengaruhnya dalam mengatur ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban material privat dan umum. Hal ini terlihat jelas dengan pelaksanaan Undang-undang hukum perdata tersebut sampai saat ini.

Penulis:

  1. Elmi Rutmita Sagala
  2. Debora kristiani Siahaan
  3. Yuri Gagarin Tampubolon

Mahasiswa PPKN, Universitas Nommensen Pematangsiantar

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *