Dasar-dasar Hukum Perdata

Dasar-dasar Hukum Perdata
Ilustrasi Hukum Perdata (Sumber: Penulis)

Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H.

Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, Beliau mendefinisikan Hukum Perdata sebagai rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan antar orang yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, S.H.

Prof. Sudikno yang pernah menjadi dosen hukum di Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban warga negara di dalam hubungan keluarga dan pergaulan masyarakat.

Pada dasarnya, Hukum Perdata adalah sebuah aturan yang mengatur apa yang menjadi hak dan apa yang menjadi kewajiban antar individu dengan individu lainnya di dalam suatu Masyarakat yang dapat berkaitan dengan hukum publik.

Sejarah membuktikan bah­wa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari Sejarah Hukum Perdata Eropa. Bermula di be­nua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Ramawi, disamping adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat.

Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena keadaan hukum di Eropa kacau-balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.

Oleh karena adanya perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat ketidak puasan, sehingga orang mencari jalan ke arah adanya kepastian hukum, kesatuan hukum dan keseragaman hukum.

Pada tahun 1804 atas prakarsa Na­poleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”, karena Code Civil des Francais ini adalah merupakan sebagian dari Code Napoleon.

Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothies, di samping itu juga dipergunakan Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jemonia dan Hukum Cononiek.

Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah wessel, asuransi, badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung (jaman baru sekitar abad pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab Undang-Undang tersendiri dengan nama “Code de Com­merce”.

Sejalan dengan adanya pen­jajahan oleh bangsa Belanda (18o9-181 1), maka Raja Lo­dewijk Napoleon Menetapkan : “Wetboek Napoleon Ingerighr Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sum­ber Hukum Perdata di Belan­da (Nederland).

Setelah berakhirnya pen­jajahan dan dinyatakan Ne­derland disatukan dengan Prancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais atau Code Na­­poleon ini tetap berlaku di Belanda (Nederland).

Oleh karena perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda (Nederland) dari Perancis ini, b­angsa Belanda mulai memikirkan dan mengadakan kodifikasi dari Hukum Perdatanya.

Dan te­patnya 5 Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan ben­tuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de Commerce.

Dan pada tahun 1948, ke­­­dua Undang-Undang pro­duk Nasional-Nederland ini diberlakukan di Indonesia ber­dasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum). Sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).

Asas-asas Hukum Perdata

1. Asas Konsensualisme

Makna dari asas konsensualisme adalah para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat dalam setiap isi atau hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang dibuat. Asas konsensualisme tersirat dalam salah salah satu syarat sah perjanjian berdasarkan KUH Perdata.

Pasal 1320 KUH Perdata menerangkan bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu pokok persoalan tertentu; dan
  4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Baca juga:

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak tersirat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa semua persetujuan (perjanjian) yang dibuat sesuai dengan Undang-undang berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Kemudian, diterangkan Agus Y. Hernoko dalam Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, terkait asas kebebasan berkontrak, para pihaknya memiliki kebebasan untuk hal-hal sebagai berikut:

  1. Menentukan/memilih klausa dari perjanjian yang akan dibuat.
  2. Menentukan apa yang menjadi objek perjanjian.
  3. Menentukan bentuk perjanjian.
  4. Menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional.

3. Asas Pacta Sunt Servanda

Jika diterjemahkan dari bahasa latin, pacta sunt servanda berarti janji harus ditepati. Diterangkan Harry Purwanto dalam Mimbar Hukum Volume 21 No. 1, asas pacta sunt servanda adalah asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law yang dalam perkembangannya diadopsi dalam hukum internasional.

Kemudian, Purwanto juga menerangkan bahwa asas Hukum Perdata yang satu ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan antara para individu dan mengandung makna, bahwa:

  1. Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya; dan
  2. Mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.

4. Asas Iktikad Baik

Iktikad baik bermakna melaksanakan perjanjian dengan maksud (iktikad) yang baik. Berdasarkan Simposium Hukum Perdata Nasional, iktikad baik hendaknya diartikan sebagai:

  1. Kejujuran saat membuat kontrak;
  2. Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabatan, para pihak dianggap beriktikad baik; dan
  3. Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian, baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan kesepakatan dalam kontrak; atau semata-mata untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak.

5. Asas Kepribadian

Diterangkan M. Muhtarom dalam Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam Pembuatan Kontrak, asas kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan pribadi atau perseorangan saja.

Dalam KUH Perdata, asas Hukum Perdata ini tersirat dalam pasal berikut:

  1. Pasal 1315 KUH Perdata yang menerangkan bahwa pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.
  2. Pasal 1340 KUH Perdata yang menerangkan bahwa persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan.

Hubungan antara Hukum Perdata dan Hukum Publik

Dengan demikian, hubungan antara Hukum Perdata dan hukum publik adalah, Hukum Perdata mengatur hubungan hukum individu yang satu dengan individu yang lain dalam suatu masyarakat, sedangkan Hukum Publik mengatur hubungan hukum antar warga Negara dalam suatu Negara. Jadi, kita tidak dapat membedakan, tetapi dapat memisahkan.

Penulis:

  1. Esra F. Sibarani
  2. Marintan F. Silalahi
  3. Cindy K. Pasaribu

Mahasiswa PPKN, Universitas Nommensen Pematangsiantar

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *