Integrasi Work-Life Balance dan Manajemen Karir pada Komitmen Organisasional

Work-Life Balance
Illustration of Work-Life Balance (Source: Social Media)

Integrasi antara kebijakan work‑life balance (WLB) dan manajemen karir terbukti menjadi katalis dalam memperkuat komitmen organisasional, terutama di kalangan karyawan milenial dan Gen Z yang menghargai fleksibilitas dan perkembangan profesional.

Penelitian Putri & Frianto (2023) di Surabaya menemukan bahwa WLB berpengaruh signifikan secara positif terhadap kinerja karyawan, dan efek WLB terhadap kinerja dimediasi penuh oleh komitmen organisasional.

Temuan ini menegaskan bahwa kebijakan fleksibilitas kerja—meliputi jam fleksibel, cuti yang memadai, dan dukungan manajemen terhadap kebutuhan personal karyawan—membentuk pondasi emosional, memfasilitasi keterikatan mereka terhadap organisasi.

Lebih jauh, Wahyuni et al. (2025) menambahkan perspektif gender dalam konteks bank di Surabaya, menunjukkan bahwa WLB meningkatkan komitmen organisasional, meski efeknya bervariasi antara laki‑laki dan perempuan.

Ini menegaskan pentingnya desain kebijakan WLB yang sensitif gender—misalnya dukungan cuti orang tua, ruang laktasi, dan jam kerja fleksibel bagi perempuan—untuk memastikan tingkat komitmen yang merata di seluruh demografi.

Pada kasus startup di Jakarta Selatan, Azzahra & Nuraeni (2024) mengungkap bahwa WLB dan fleksibilitas kerja secara signifikan meningkatkan kinerja, dengan komitmen organisasional sebagai mediator kondisi ini relevan bagi organisasi digital dengan budaya hybrid/fleksibel yang kini semakin diminati by millennial & Gen Z.

Data tersebut sejalan dengan temuan global dari Randstad (2025) bahwa 83 % karyawan menilai WLB sejajar atau bahkan lebih penting daripada gaji.

Namun, sekadar memberikan fleksibilitas tidak langsung membawa dampak maksimal jika tanpa manajemen karir yang terstruktur. Monata & Yulihasri (2024) menunjukkan bahwa WLB meningkatkan kepuasan kerja dan employee engagement, dan melalui keduanya memicu komitmen organisasional.

Sementara itu, studi berlianingsih Kusuma dkk. (2024) menemukan WLB secara langsung menurunkan turnover intention dan meningkatkan komitmen generasi milenial.

Di sisi lain, manajemen karir memainkan peran krusial sebagai pelengkap kebijakan WLB. Tanpa jalur pengembangan yang jelas—seperti pelatihan, mentoring, job rotation, dan promosi yang transparan—WLB hanya menjadi fasilitas ‘bonus’ yang kurang mendalam.

Baca juga: Peran Self-Efficacy dalam Manajemen Karir dan Kinerja Karyawan

Studi gender Wahyuni et al. (2025) merekomendasikan integrasi career planning dalam kebijakan WLB, misalnya program fleksibel yang memungkinkan karyawan menghadiri training atau pelatihan tanpa mengorbankan work‑life balance.

Secara teoritis, kombinasi antara WLB dan manajemen karir yang terencana membentuk sinergi psikologis yang memperkuat komitmen afektif (emosional), normatif (moral), dan continuance (persepsi biaya dan manfaat).

Ketika karyawan merasa dihargai secara menyeluruh—dari keseimbangan hidup hingga pengembangan karir—mereka lebih cenderung mengembangkan komitmen jangka panjang terhadap organisasi. Namun tantangan nyata tetap ada.

Kebijakan fleksibilitas dan jalur karir harus dijalankan secara konsisten dan komunikatif—tanpa itu, implementasi bisa kontraproduktif. Tinjauan Surabaya dan Jakarta menunjukkan pentingnya pelibatan manajemen lini dan HR secara aktif dalam menyediakan akses ke WLB dan career support, serta monitoring hasil implementasi tersebut.

 

Penulis: Yosafat Sadewo
Mahasiswa Magister Manajemen, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *