LGBT dalam Arus Media Digital

LGBT dalam Arus Media

Dunia global tengah mengalami perubahan yang merupakan dampak dari globalisasi. Menurut Selo Soemardjan, globalisasi adalah proses terbentuknya organisasi dan komunikasi antara masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah yang sama. Dalam dua dekade terakhir, globalisasi dalam skala global meningkat pesat akibat perkembangan teknologi. Tak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi mendorong perkembangan globalisasi semakin berkembang pesat.

Salah satu bentuk konkret dalam dunia teknologi adalah media sosial (yang selanjutnya disebut medsos). Medsos sebagai alat dan sarana baru yang digunakan untuk media komunikasi sebagai fungsi dasarnya, nyatanya memiliki permasalahan-permasalahan yang sangatlah kompleks. Salah satu permasalahan dalam media yang sering dirasakan khalayak, yakni tidak adanya batasan antara privasi dan publik. Lebih lanjut, permasalahan yang diciptakan medsos seperti, hilangnya batas-batas komunikasi antarmasyarakat dunia.

Contohnya, masyarakat Indonesia mampu terhubung dengan masyarakat luar negeri menggunakan aplikasi Instagram, Whatsapp, hingga Twitter atau yang kini dikenal dengan X; atau, masyarakat Indonesia mampu terhubung dengan masyarakat luar negeri ketika bertemu dalam permainan online. Hal-hal seperti ini secara langsung memunculkan perubahan didalam masyarakat, perubahan pada kebudayaan, perubahan pada gaya hidup mereka dan perubahan-perubahan lainnya.

Di lain sisi, media sosial juga menjadi wadah bagi para penggunanya untuk mereka bisa mencurahkan berbagai ekspresi, pendapat, perasaan, dan emosi. Contoh nyata yang terjadi adalah banyak pengguna Twitter menulis cuitan yang menarik perhatian banyak orang.

Hal ini bisa menjadi suatu hal yang sangat baik, karena dengan begitu, seorang individu menjadi semakin berani untuk menampilkan diri dan menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat luas. Dilansir dari jurnal penelitian dengan judul “Studi Dramaturgi Pengelolaan kesan melalui twitter sebagai sarana eksistensi diri mahasiswa di Jakarta” menyebutkan bahwa Eksistensi diri melalui media sosial dilakukan oleh banyak kalangan, mulai dari para pejabat, kalangan artis, hingga para remaja mulai dari pelajar hingga mahasiswa.

Mereka senantiasa melakukan eksistensi diri semata-mata bertujuan untuk diakui keberadaannya di mata orang lain dengan menampilkan kesan yang menarik perhatian. Media sosial tidak memberi batasan pada apa yang akan ditampilkan, sehingga kadang kala, kesempatan ini justru menjadi jurang yang bisa menjebak dalam masa modern ini.

Hal ini berkaitan dengan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam memilih konten-konten positif di media sosial menyebabkan banyaknya informasi yang belum tentu kebenarannya berkembang dalam masyarakat, hal tersebut dapat memancing masyarakat dalam melakukan kritik dan kritik yang dilakukan seringkali melanggar norma-norma kesopanan dan kritik tersebut menimbulkan perbuatan hukum yang harus ditanggung oleh masyarakat itu sendiri yang melakukan kritik terhadap informasi tersebut (Simarmata, 2019).

Karena kebebasan itu sendiri, banyak orang terlalu nyaman menyebarkan segala hal tentang dirinya hingga lupa akan batasan diri. Tidak sedikit juga dari mereka yang bahkan telah menyimpang dari norma, aturan dan budaya yang ada di Indonesia sehingga membutuhkan batasan tertentu sebagai upaya pencegahan. Hal-hal yang mampu mencegah kebebasan berekspresi dan berpendapat yang kebablasan, yakni kebebasan berekspresi dibatasi oleh undang-undang, jiwa (moral) masyarakat, dan ketertiban sosial. 

Salah satu yang ramai diperbincangkan belakangan ini yaitu persoalan kaum LGBT yang kian semakin marak bersuara dan menampilkan dirinya di ranah publik, terutama lewat media sosial. Hal ini disebabkan karena mereka tidak mendapat atensi dan tidak mendapat penerimaan yang baik di masyarakat umum, sehingga ketika mereka diberikan ruang dan media untuk bebas dan leluasa menunjukkan jati dirinya, tentu mereka akan berani dan vokal menyampaikan hal tersebut. 

Fenomena media sosial seperti yang sudah dibahas sebelumnya, membuka kacamata dunia bahwa semua dapat saling terhubung. Proses keterhubungan secara global membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini berdasarkan teori evolusi yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Teori ini menyampaikan bahwa suatu perubahan terjadi berdasar tahapan-tahapan yang ada. Setiap tahapan yang dilalui pasti mengarah pada perkembangan yang terjadi, misalnya, teori tiga tahap pemikiran manusia yang pasti akan melalui tahap teologis, meta-fisik, dan terakhir positivistik. Setiap perkembangan yang ada membutuhkan waktu untuk berkembang menjadi lebih jauh. 

Dalam hal ini, telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam dua dekade terakhir, globalisasi dalam hal teknologi telah berkembang pesat. Hal inilah bukti nyata bahwa teori evolusi membutuhkan waktu, berkembang secara perlahan, sampai di titik ini setiap manusia tidak dapat terlepas dari teknologi. Teknologi yang semakin berkembang seperti munculnya Artificial Intelligence (AI), kemudahan dalam melakukan transaksi online, hingga kemudahan dalam menjalin relasi di media sosial kemudian juga mempengaruhi pola dan perilaku manusia dalam keseharian.

Proses keterbukaan yang kita kenal dengan globalisasi inilah kemudian semakin menjadi nyata ketika akhirnya masyarakat telah sepenuhnya menerima pengaruh-pengaruh yang mereka rasakan. Salah satu yang dapat dengan jelas kita rasakan adalah arus informasi yang tidak terbatas. Masyarakat dapat menemukan informasi terkait apapun itu pada internet. 

Internet menjadi salah satu faktor pendukung dalam hal media sosial ini. Penyebarluasan informasi melalui internet ini menyebabkan banyak pihak semakin bebas dalam mengutarakan pendapat, dalam mengekspresikan diri, hingga semakin giat mengejar eksistensi. Kemampuan masyarakat dalam mengekspresikan diri tidak dapat dibatasi oleh siapapun, bahkan pemerintah pun menjamin kebebasan berpendapat dalam Undang-Undang Dasar 45.

Hal ini tertuang dalam Pasal 28F yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Hal ini juga mendukung masyarakat untuk saling terhubung, merasakan kebebasan, dan semua semakin terintegrasi. 

Hak untuk dapat menyuarakan pendapat dan berekspresi ini menjadi salah satu hal yang memiliki dampak positif dan negatif. Disebutkan dalam Pasal 28F tersebut bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Hal ini bagai pedang bermata dua. Hal ini memiliki pengaruh yang baik seperti, semakin mudahnya terhubung dengan siapapun seperti contoh yang telah disebutkan dalam paragraf diatas.

Hal ini juga memiliki pengaruh yang buruk seperti semakin liarnya kaum LGBT dalam menyuarakan tentang eksistensi mereka pada khalayak umum, semakin berani mereka dalam mempromosikan tentang kelompok mereka melalui Internet. 

Dengan maraknya penyebarluasan informasi tentang keberadaan kelompok LGBT, hal ini mempengaruhi nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama, LGBT telah “dilegalkan” oleh beberapa negara barat. Dalam arus globalisasi, hal ini kemudian membuat mereka terbuka untuk muncul dalam ranah publik. Alhasil, budaya-budaya yang sebelumnya berada hanya di negara barat, kini telah mempengaruhi budaya-budaya di negara timur/Asia/Oriental.

Dalam salah satu aplikasi yang kerap digunakan oleh banyak orang, terkhusus di era sekarang, mulai dari Millennial hingga Gen Alpha, Twitter atau yang sekarang disebut X, semakin marak cuitan yang dapat dilihat publik mengenai jati diri mereka (kaum LGBT). Suatu pihak mengumbar mengenai orientasi seksual mereka, kemudian akan banyak pihak-pihak lain muncul ke permukaan dan merasa terkait antara satu sama lain. Cuitan yang telah mereka unggah nantinya tersebar secara luas bagi seluruh pengguna X.

Tidak kalah saing dengan X yang sudah populer sejak lama, kini aplikasi yang berisikan video-video singkat tentang hal-hal bebas, Tiktok, semakin bebas dan liar. Karena tidak adanya aturan yang membatasi konten-konten tersebut, kaum LGBT semakin berani mengungkap keberadaannya melalui aplikasi ini. Tidak hanya eksistensi, mereka juga menunjukkan kemesraan dalam hubungan mereka yang sedang terjalin secara vulgar.

Keberanian untuk menunjukkan keberadaan mereka sebagai kaum LGBT merupakan salah satu pengaruh dari perubahan sosial dan globalisasi. Jika di atas disampaikan bahwa teori evolusi membawa perubahan untuk terus berkembang, hal ini menjadi bukti nyata. Dengan keterbukaan internet dan media sosial, kaum LGBT mampu menunjukkan keberadaannya kepada masyarakat Indonesia. Mereka ingin menampilkan bahwa mereka adalah kelompok LGBT dan mereka tidak ingin dipandang berbeda dari yang lain. Hal ini pun mempengaruhi pandangan ditengah masyarakat yang kemudian membawa dampak negatif. 

Masyarakat yang tadinya 100% memegang erat nilai, aturan, dan norma yang berlaku, dengan hadirnya hal-hal seperti ini mampu menggoyahkan pandangan mereka terhadap sistem yang berlaku. Hal ini sejalan dengan makna globalisasi yang disampaikan oleh Selo Soemardjan, globalisasi adalah proses terbentuknya organisasi dan komunikasi antara masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah yang sama.

Pada akhirnya, masyarakat di kemudian hari akan menganggap hal ini adalah hal yang normal dan tidak lagi memandang hal ini sebagai hal yang menyimpang atas dasar “tuntutan” mengikuti sistem dan kaidah yang berlaku secara global. 

Arus globalisasi teknologi mendorong manusia untuk berevolusi. Evolusi yang dilakukan manusia memiliki sisi baik dan buruk. Sisi baik yang dibentuk berkat globalisasi teknologi adalah semakin mudahnya manusia untuk terjalin satu sama lain. Proses ini memakan waktu yang lama dan tidak akan mungkin manusia kembali ke masa sebelum berkembangnya teknologi seperti saat ini, sehingga keterbukaan yang hadir mampu memberikan dampak buruk seperti hilangnya batas privasi dalam penggunaan media sosial.

Hal ini kemudian membentuk kesadaran baru bahwa media sosial bukan lagi permasalahan mengenai globalisasi tetapi juga menjadi permasalahan yang menyebabkan adanya perubahan budaya-budaya yang telah ada sebelumnya di Indonesia. Selain membuka ruang untuk berkomunikasi, media sosial ini juga menjadi jembatan yang menghubungkan relasi antar masyarakat di berbagai penjuru dunia. Dengan mudahnya, kita dapat mengakses berbagai macam informasi, hiburan, pengetahuan dan hal-hal lain dari masyarakat luar yang kemudian masuk ke negara kita juga. Sehingga, hal ini menyebabkan adanya goncangan dalam norma dan budaya Indonesia yang seringkali terkontaminasi budaya-budaya luar yang tidak sejalan dengan nilai yang kita yakini disini.

Contoh konkritnya, yaitu fenomena maraknya kaum LGBT yang semakin berani menunjukkan eksistensinya di media sosial. Di Indonesia, LGBT bukanlah sesuatu yang lazim dan diakui, namun karena datangnya budaya luar yang berkontradiksi dengan hal ini, masyarakat Indonesia jadi ikut-ikutan dan semakin berani mengakui hal yang sebenarnya menyimpang.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita bijak bermedia sosial dan berhati-hati dengan apa yang tersaji di internet. Kita harus tetap yakin dan kuat berpegang pada nilai dan norma yang ditanam dan diikuti di Indonesia. Kita yang harus bijak berpikir dan bisa membedakan mana yang baik dan bisa kita terima dan mana yang tidak.

Sudah selayaknya, media sosial kita jadikan sebagai tempat yang inspiratif dan positif untuk diikuti dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada penyimpangan perilaku atau aturan yang ditetapkan di negara masing-masing. Kemampuan selektif inilah yang sangat penting untuk era digital ini agar manusia tidak semakin terjerumus dalam arus informasi yang dengan mudahnya menyebar luas. 

Penulis:
1. Benedictus Singgih Triwiranto
2. Maria Ella Risandra Puruhita
3. ⁠Yosephin Bulandarihati Rajagukguk

Siswa SMA Gonzaga

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *