Di zaman sekarang, media sosial bukan hanya tempat untuk berbagi foto atau cerita pribadi, tetapi juga jadi arena perdebatan antara para profesional. Salah satu kisruh yang paling mencuri perhatian belakangan ini adalah konflik antara Doktif dan dr. Richard Lee.
Semua bermula dari kritik dr. Richard Lee terhadap Doktif yang gemar membongkar klaim kandungan produk skincare yang menurutnya tidak sesuai dengan uji lab. Tidak terima, Doktif membalas kritik tersebut, dan tak jarang, keduanya saling mengungkit urusan pribadi.
Perseteruan ini semakin memanas dan mengundang perhatian banyak pihak, termasuk Deddy Corbuzier yang akhirnya ikut bersuara, mengingatkan kedua belah pihak tentang sumpah dokter yang seharusnya dijunjung tinggi. Tapi, apakah ini sekadar masalah etika profesi, atau lebih dari itu?
Apakah kita sebagai masyarakat bisa melihat ini sebagai bentuk profesionalisme, atau justru sebagai drama yang terungkap di media sosial?
Sebagai seorang mahasiswa ilmu komunikasi yang juga terlibat dalam dunia media sosial, saya melihat perseteruan ini sebagai lebih dari sekadar masalah etika medis.
Di satu sisi, saya bisa mengerti alasan Doktif dalam mengungkapkan ketidaksesuaian produk yang sering dipromosikan oleh influencer atau selebritas, namun caranya—terutama dengan mengumbar hal-hal pribadi—sangat tidak profesional.
Sebagai masyarakat yang mengandalkan media sosial sebagai alat untuk berinteraksi, kita juga perlu mengingatkan diri kita tentang batasan-batasan yang harus dijaga agar etika komunikasi tetap terjaga.
Baca Juga: Peran Komite Etik Keperawatan terhadap Profesionalisme Perawat dalam Komunikasi Terapeutik
Media Sosial: Ruang Demokrasi atau Arena Perang?
Media sosial memang menawarkan kebebasan untuk berbagi pendapat dan informasi. Namun, ketika perbedaan pendapat yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih dewasa dan profesional, malah diselesaikan dengan saling serang dan memamerkan kelemahan satu sama lain, itu menjadi masalah.
Doktif, misalnya, dengan tegas memaparkan hasil uji lab produk skincare, yang dianggapnya melakukan overclaim—produk mengklaim kandungan tertentu, padahal kenyataannya tidak demikian.
Di sisi lain, dr. Richard Lee yang merasa terancam dengan pernyataan tersebut, membalas serangan itu dengan membicarakan hal-hal pribadi yang seharusnya tidak masuk dalam pembahasan profesional.
Tentu, saya bisa melihat dari sisi manapun—Doktif mencoba mengedukasi publik tentang pentingnya transparansi dalam produk kecantikan, sedangkan dr. Richard Lee membela diri karena merasa dihina. Namun, dalam dunia yang serba terbuka seperti media sosial ini, kita sering lupa bahwa ada etika yang harus dijaga.
Terkadang, meskipun niat kita baik, cara kita menyampaikan bisa menambah masalah dan malah menciptakan ketegangan baru. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang demokratis untuk berbagi pengetahuan dan edukasi, malah berubah menjadi ruang untuk menyerang dan memperburuk citra lawan.
Baca Juga: Individu sebagai Aktor dan Kreator dalam Dinamika Sosial
Sumpah Dokter dan Realitas Digital
Ketika Deddy Corbuzier angkat bicara dalam video YouTube-nya, saya merasa ada pesan yang perlu kita tangkap dengan serius. Deddy, meskipun bukan seorang dokter, dengan jelas mengingatkan keduanya tentang sumpah dokter yang mereka emban.
Salah satu bagian dari sumpah tersebut menyebutkan bahwa seorang dokter harus menjalankan tugasnya dengan terhormat, menjaga martabat profesinya, serta saling memperlakukan sesama sejawat layaknya saudara. Ironisnya, apa yang terjadi di dunia maya justru berbanding terbalik dengan sumpah itu.
Dokter, menurut saya, tidak hanya harus mematuhi kode etik medis dalam praktek, tetapi juga dalam cara berkomunikasi. Jika kita lihat, kedua belah pihak—baik Doktif maupun dr. Richard Lee—terlalu fokus untuk membela diri dan menyerang satu sama lain, tanpa mempertimbangkan etika dan martabat profesi medis yang mereka wakili.
Bagaimana kita bisa menghormati seorang profesional jika mereka lebih mementingkan popularitas pribadi daripada menjaga kehormatan profesi mereka? Media sosial memang memberi kebebasan, namun itu bukan alasan untuk merusak citra profesi atau malah memperburuk keadaan.
Etika Profesional di Era Digital
Sebagai seorang mahasiswa ilmu komunikasi, saya belajar banyak tentang etika dan kode etik dalam berkomunikasi, baik itu di dunia nyata maupun di dunia digital. Dalam konteks media sosial, komunikasi profesional harusnya tetap dijaga.
Kita seringkali terjebak dalam lingkaran digital di mana semakin banyak orang yang mencari perhatian, bahkan dengan cara-cara yang tidak terhormat. Namun, saya percaya bahwa kita bisa memilih untuk berkomunikasi dengan cara yang lebih bijak dan tidak merusak nilai-nilai etika yang kita anut.
Sebagai dokter, sudah sepatutnya kita melihat profesi ini dengan penuh rasa hormat—baik dalam ruang praktek maupun di ruang publik seperti media sosial.
Selain itu, Deddy Corbuzier juga menyebutkan bahwa masih banyak dokter yang bekerja dengan sepenuh hati, tanpa mengedepankan kekayaan atau popularitas.
Di luar sana, masih ada banyak dokter yang tidak menjual barang atau jasa di media sosial, tetapi lebih fokus untuk membantu pasien dengan penuh integritas. Ini adalah contoh nyata dari profesionalisme yang harus kita dukung dan hargai.
Baca Juga: Strategi Menumbuhkan Budaya Mutu dalam Membangun Daya Saing Global
Kesimpulan: Profesionalisme atau Drama Online?
Konflik antara Doktif dan dr. Richard Lee ini bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Mungkin ada kebenaran di pihak masing-masing, tetapi yang jelas, kedua belah pihak telah melupakan nilai-nilai dasar dalam menjalankan profesi medis.
Apa yang terjadi di media sosial ini bukan hanya soal siapa yang lebih benar, tetapi tentang bagaimana kita sebagai masyarakat dapat memilih cara yang lebih profesional untuk menyelesaikan masalah.
Sebagai pembaca, kita perlu lebih kritis dalam melihat konflik semacam ini dan merenungkan apakah media sosial seharusnya menjadi tempat untuk memperbaiki atau justru merusak citra profesi kita.
Dokter, seperti halnya profesional lainnya, punya tanggung jawab besar terhadap etika dan martabat profesi. Maka, mari kita berpegang teguh pada prinsip ini, bahkan di tengah sorotan media sosial yang serba terbuka ini.
Ketika kita tahu bahwa cara kita berkomunikasi akan berpengaruh pada pandangan masyarakat, maka kita harus lebih bijak dalam menyampaikan pendapat, terlebih lagi jika kita mewakili profesi yang seharusnya menjadi contoh teladan.
Penulis: Michelle Janette Hosea
Mahasiswa Prodi Ilkom Universitas Ciputra Surabaya
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News