Peran Komite Etik Keperawatan terhadap Profesionalisme Perawat dalam Komunikasi Terapeutik

Komunikasi Terapeutik
Ilustrasi: istockphoto

Komunikasi menjadi pengantar atau “jembatan” bagi seseorang untuk menyampaikan sebuah pesan atau informasi yang penting, tidak terkecuali komunikasi yang dilakukan oleh perawat kepada pasiennya. Dengan berkomunikasi yang baik akan meningkatkan pemahaman yang lebih, pengetahuan, kepuasan, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan mutu layanan di sebuah rumah sakit.

Komunikasi yang efektif antara perawat dan pasien merupakan hal yang sangat vital, termasuk di asuhan keperawatan komunikasi yang efektif dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan memudahkan perawat untuk menganalisa permasalahan dan kebutuhan pasien sehingga bisa memberikan asuhan keperawatan secara tepat dan meningkatkan kepuasan klien akan pelayanan kesehatan di rumah sakit (Elizabeth, J. 2016).

Secara harfiah, istilah “komunikasi” mungkin terlihat sederhana, tetapi konteksnya sangat penting jika digunakan untuk pasien di rumah sakit yang dirawat. Komunikasi sangat penting untuk menjalankan asuhan keperawatan, dan dalam setiap tahap asuhan, komunikasi yang tepat diperlukan.

Seorang perawat harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang handal untuk mencapai tujuan akhir keperawatan, yaitu kesembuhan pasien, mulai dari pengkajian hingga evaluasi. Akan tetapi, rumah sakit di Indonesia masih sering mengalami masalah komunikasi yang buruk antara perawat dan pasien.

Hampir setiap tahun ada berita tentang perawat yang dingin, kasar, atau tidak responsif terhadap keluhan pasien. Sebagai contoh yang belum lama viral, ada klien yang berkeluh kesah di media sosial karena merasa diabaikan oleh oknum tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit di Indonesia (detik.com, 1 Juli 2023).

Komunikasi yang dilakukan perawat kepada pasien tidak hanya terkait bagaimana cara perawat dalam berkomunikasi dengan pasien akan tetapi waktu yang perlu diluangkan untuk pasien dan kecakapan perawat dalam memahami kondisi pasien juga sangat penting untuk diperhatikan.

Penelitian oleh R Nona Millani (2019) yang menganalisa tingkat kepuasan pasien dalam penanganan keluhan di sebuah satu rumah sakit mendapatkan bahwa 74% pasien dan keluarga merasa kurang puas terhadap waktu yang diberikan untuk penanganan keluhan.

Sedangkan pada aspek informasi penyakit yang diperoleh pasien dari perawat mendapatkan hasil 73% belum puas. Pengertian komunikasi secara luas tidak hanya “berbicara” akan tetapi mencakup verbal dan non verbal.

Bahasa tubuh yang “hangat” juga dapat menjadi media kesembuhan pasien, dan perawat dapat melakukannya sebagaimana tugas dan peran yang diembannya. Perawat yang berkomunikasi dengan baik menciptakan suasana mutu pelayanan yang memuaskan untuk pasien beserta kelurganya.

Kualitas mutu pelayanan kesehatan dapat di pengaruhi banyak hal di mana salah satu yang paling berperan adalah komunikasi perawat pada pasien.

Komunikasi perawat dan pasien merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perawatan pasien di semua rangkaian layanan kesehatan. Hal ini sangat penting untuk kualitas layanan yang diberikan. Namun, ada saat-saat ketika komunikasi terapeutik tidak berjalan dengan baik.

Ini dapat membahayakan prinsip dan etika keperawatan. Sebagai contoh, seorang pasien di salah satu rumah sakit di Indonesia berkeluh kesah di media sosial karena merasa diabaikan oleh perawatnya (detik.com, 1 Juli 2023).

Komunikasi yang efektif sangat penting untuk menunjukkan rasa hormat dan menjaga martabat pasien. Ketika komunikasi terputus, pasien mungkin merasa tidak didengarkan atau tidak dipahami, sehingga dapat mengurangi kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang tepat mengenai perawatan mereka. Dalam hal ini, perawat mungkin melanggar prinsip etika dalam menghormati otonomi pasien (Beauchamp & Childress, 2019).

Selain itu, salah satu prinsip etika mendasar dalam keperawatan adalah melakukan apa yang terbaik bagi pasien (beneficence). Ketika komunikasi terapeutik tidak efektif, perawat mungkin tidak sepenuhnya memahami kebutuhan atau preferensi pasien, yang dapat menyebabkan pelayanan tidak optimal.

Kegagalan berkomunikasi secara efektif dapat menghambat kemampuan perawat dalam meningkatkan kesejahteraan pasien (Khoir, 2020).

Rusaknya komunikasi terapeutik dapat menimbulkan rasa tidak hormat atau kurangnya kepekaan dalam berinteraksi dengan pasien. Jika perawat gagal untuk mendengarkan secara aktif, memvalidasi perasaan pasien, atau terlibat dalam dialog yang penuh hormat, hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran prinsip etika menghormati nilai dan martabat yang melekat pada setiap individu.

Permasalahan ini juga dapat mengakibatkan pengabaian emosional pada pasien. Jika perawat gagal memberikan dukungan emosional, mendengarkan secara aktif, atau memberikan respon cepat terhadap kebutuhan atau kekhawatiran pasien, dapat menyebabkan perasaan tertekan, cemas, atau ditinggalkan, yang bertentangan dengan komitmen etik dalam memberikan perawatan holistik (International Council of Nurses, 2012).

Komunikasi terapeutik yang tidak berjalan dengan baik antara pasien dan perawat ini dapat terjadi karena adanya kelelahan yang terjadi pada perawat akibat beban kerja perawat yang tinggi (Emishaw et al., 2021).

Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kinerja perawat dalam memberikan perhatian penuh pada pasiennya. Selain itu, perbedaan bahasa sehari-hari antara perawat dan pasien juga dapat menyulitkan proses komunikasi terapeutik.

Orang-orang yang tidak memiliki bahasa yang sama tidak dapat berkomunikasi secara efektif atau tepat untuk mengungkapkan perasaannya seperti orang yang memiliki bahasa yang sama (Emishaw et al., 2021). Hambatan tersebut dapat memicu kesalahpahaman antara pasien dan perawat, sehingga pasien mungkin merasa terabaikan.

Sebuah penelitian di salah satu rumah sakit di Indonesia yang mengungkapkan bahwa adanya keluhan terkait kurangnya waktu yang diberikan oleh perawat untuk pasien dan keluarga saat berkonsultasi, juga banyak pasien yang merasa belum puas dengan informasi yang disampaikan oleh perawat terkait penyakitnya (Milani, 2019).

Kehadiran perawat yang tidak memadai di rumah sakit seperti ini seringkali disebabkan karena sedikitnya jumlah perawat pada setiap shift.

Hal ini membuat waktu yang perawat miliki untuk berinteraksi dengan masing-masing pasien sangat terbatas dan akan merusak komunikasi dengan pasien karena tidak mampu memenuhi semua tuntutan pasien dengan baik (Emishaw et al., 2021).

Selain itu, kurangnya pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik pada sebagian perawat juga turut menyebabkan tidak efektifnya komunikasi terapeutik (Amoah et al., 2019).

Hambatan tersebut dapat menyebabkan perawat melanggar prinsip etik untuk tidak merugikan pasien (non-maleficient).

Prinsip ini mengharuskan perawat untuk tidak melakukan tindakan yang membahayakan. Komunikasi yang buruk dapat mengakibatkan kesalahpahaman atau kesalahan yang dapat merugikan pasien. Misalnya, jika alergi atau riwayat kesehatan pasien tidak dikomunikasikan dengan baik, hal ini dapat menyebabkan kejadian buruk dan potensi bahaya (Khoir, 2020).

Berdasarkan kasus diatas didapatkan bahwa komite etik memegang peranan yang penting untuk menangani permasalahan komunikasi ini karena dapat menciderai etika profesi dalam menjalankan tanggungjawab profesinya.

Fokus dari komite etik keperawatan untuk menangani permasalahan medis antar perawat dengan pasien, tenaga kesehatan lainnya, bahkan dengan sesama perawat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran kode etik profesi.

Komite etik juga mempunyai peran untuk berkomunikasi dengan pemangku kebijakan layanan kesehatan untuk meningkatkan mutu layanan profesi keperawatan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 49 Tahun 2013, komite Keperawatan memiliki fungsi utama yaitu mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi.

Demi terwujudnya kode etik keperawatan ter-implementasi dengan baik dalam komunikasi antara perawat dengan pasien dan keluarga maka komite etik mesti memastikan bahwa perawat memiliki kemampuan, keterampilan untuk berkomunikasi yang terapeutik dan sarat akan prinsip kode etik, berperan aktif dalam mengevaluasi prosedur operasional standar tindakan dan asuhan keperawatan untuk memastikan perinsip etik terimplementasikan dalam setiap poinnya.

Komite etik juga mempunyai peran untuk senantiasa berkomunikasi dengan pemangku kebijakan dan pihak lain untuk memastikan ketersediaan sumber daya keperawatan dalam layanan kesehatan tersebut terpenuhi dengan baik, karena jika terjadi kekurangan sumber daya keperawatan akan berpengaruh pada porsi waktu untuk interaksi antara pasien dengan perawat yang berdampak pada tidak optimalnya komunikasi yang berprinsipkan kode etik keperawatan.

Selain menjaga, memastikan dan mengawal tanggung jawab perawat untuk menerapkan perinsip etik dalam setiap tindakannya sudah sepatutnya komite etik juga harus menjaga nama baik seorang perawat dalam menjalankan kode etik keperawatan, menyosialisasikan kepada pasien, pemangku kebijakan, serta semua unsur yang ada di layanan kesehatan bahwa profesi keperawatan adalah profesi yang sarat akan etika sehingga harus dihormati ketika seorang perawat menjalankan perannya serta ikut bersikap dengan tegas dan terukur segala bentuk tindakan, tingkah laku, ucapan bahkan kebijakan yang dapat merugikan martabat profesi keperawatan dalam menjalankan tanggung jawab etiknya.

Penulis: 
1. Dr. Falasifah Ani Yuniarti, S.Kep., Ns., MAN
2. Agus Setiyawan,S.Kep.,Ners
3. Dhaifallah Abdulkadir.,B.Sc
4. Imelda Ayunitias., S.Kep.,Ners
5. M.Hamdan Dwi Nur Arif., S.Kep.,Ners
6. Liany Kimberly.,S.Kep.,Ners
7. Sarah Amalia.,S.Kep.,Ners
8. Urfi Aidina.,S.Kep.,Ners
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Referensi

Aeramadepa, D. A. (2014). Penyelesaian Sengketa Medik oleh Komite Etik dan Hukum di Rumah Sakit Umum Daerah Arosuka. Jurnal Sarmada, 35 – 43.

Amoah, V. M. K., Anokye, R., Boakye, D. S., Acheampong, E., Budu-Ainooson, A., Okyere, E., … & Afriyie, J. O. (2019). A qualitative assessment of perceived barriers to effective therapeutic communication among nurses and patients. BMC nursing18, 1-8.

Beauchamp, T., & Childress, J. (2019). Principles of biomedical ethics: marking its fortieth anniversary. The American Journal of Bioethics, 19(11), 9-12.

Emishaw, S., Animaw, W., Desie, T., Selomon, N., Marew, C., Birhanu, A., … & Wubneh, M. (2021). Experiences of Nurses on Perceived Therapeutic Communication Barriers in Ethiopia, A Qualitative Study.

Erliana, M., Ahdan, & Mustari, A. (2017). Etika Komunikasi Antara Perawat dengan Pasien dalam Membangun Komunikasi Efektif untuk Kesehatan Pasien di Puskesmas Bangkala Kabupaten Jeneponto. Jurnal Universitas Muslim Indonesia, 6 – 15.

Khoir, M. (2020). Therapeutic communication skills of nurses in hospital. International Journal of Nursing and Health Services (IJNHS), 3(2), 275-283.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2013). Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang Komite Keperawatan. Indonesia: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Milani. R.N. Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien dalam Penanganan Keluhan (Service Recovery) Rawat Inap di RSUD Rasidin Kota Padang, Jurnal Kesehatan Andalas, Vol.8 (2019). Issue 3. Wahyono, D. (2023). Penjelasan Pihak RS Soal Pasien Curhat Medsos Gegara Dicueki Perawat. Diambil dari https://www.detik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *