Budaya Sida Orang Manggarai

budaya sida manggarai

Sida salah satu kewajiban yang dibebankan kepada anak wina (mempelai perempuan) dengan membayarkan sejumlah uang kepada anak rona (mempelai laki-laki) dengan jumlah uang yang sudah ditentukan sebelumnya.

Dalam konteks sida Manggarai yang sudah menjadi tradisi sebagai bentuk pemersatu antara dua klen yakni anak rona atau biasa disebut mempelai laki-laki dengan anak wina atau biasa disebut dengan mempelai perempuan.

Budaya sida sendiri pada umumnya diartikan sebagai mas kawin yang harus dilunasi oleh mempelai laki-laki. Namun pelunasan mas kawin ini tidak dilakukan dengan membayar sekali tergantung agenda yang hendak diselenggarakan oleh pihak keluarga mempelai perempuan.

Hemat saya budaya sida orang Manggarai sangat meresahkan, pasalnya banyak rumah tangga yang bersusah payah untuk melunasi sida dari anak rona atau biasa disebut mempelai laki-laki.

Kendatipun demikian, budaya sida sudah menjadi tanggung jawab anak wina atau biasa disebut mempelai perempuan setelah ia mengikrarkan janji suci pernikahan di hadapan pemuka agama maka masalah sida belum selesai.

Hal tersebut menjadi salah satu pemicu rutuhnya keluarga yang baru saja dibangun. Di samping itu, salah satu ketakutan mempelai wanita bila tidak melunasi sida dari anak rona yaitu nangki.

Nangki adalah situasi dimana kondisi anak wina kerap memperoleh masalah yang tak kunjung selesai atau penyakit yang akan diwariskan secara turun-temurun.

Nangki sendiri tidak dapat dilihat oleh indra penglihatan, namun hal ini dapat ditemukan ketika bekerja gori poong (hasil panen tidak sesuai dengan usaha dan harapan).

Sida biasanya dibawa ketika pihak anak rona (keluarga mempelai perempuan) mengadakan hajatan. Budaya sida sendiri dapat dilakukan beberapakali dalam setahun tergantung agenda anak rona.

Ada beberapa acara yang melibatkan sida dari anak wina (mempelai perempuan) seperti kelas (pesta kenduri), laki nara (tunangan saudara laki-laki), teing hang (berdoa kepada leluhur) dan syukuran keluarga dari pihak laki-laki. Namun, berdasarkan realitas yang terjadi penyelenggaraan sida sendiri mengalami perubahan dalam artian penyelenggaraan sida tergantung kesepakataan antara keluarga anak rona atau biasa disebut  keluarga mempelai pria.

Selain nangki yang sudah di bahas di atas, ada beberapa hal yang menjadi rengangnya keluaraga antara anak rona (mempelai pria) dengan anak wina (mempelai perempuan) jika tidak menjawab sida dari anak rona (mempelai laki-laki).

Jika sida anak rona tak terpenuhi oleh anak wina maka akan timbul rasa minder saat berpapasan di jalan dan merasa berbeda dari sebelumnya. Kemudian ada keengganan yang timbul dari dalam diri untuk berpapasan dengan anak rona karena merasa malu tidak bisa wale sida (menjawab permintaan dari keluarga mempelai perempuan) atau wale bantang dari anak rona (menjawab kesepakatan yang dibuat oleh mempelai perempuan).

Sejauh ini, budaya sida masih dilestarikan oleh masyarakat Manggarai. Namun seiring dengan perkembangan zaman yang mulai menglobal maka sangat berpengaru terhadap budaya lokal.

Hal ini berpengaruh terhadap norma-norma maupun kearifan budaya lokal seperti sida orang Manggarai. Oleh karena itu, masyarakat lokal perlu diberi pengetahuan yang memadai agar dapat menfilter budaya-budaya asing yang berpontensi mempengaruhi kearifan lokal.

Ide solutif untuk mengatasi persoalan di atas dengan membatasi permintaan dari anak rona (keluarga mempelai perempuan) dalam mengajukan sida terhadap anak wina (mempelai perempuan) agar keluarga anak wina (mempelai perempuan) tidak merasa dibebani oleh tuntutan dari pihak keluarga laki-laki.

Selain itu, dibuat kesepakatan antara keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai perempuan terkait budaya sida bila belum bisa dijawab oleh mempelai perempuan agar terhindar dari hal-hal buruk seperti nangki.

Oleh karena itu, dalam hubungan keluarga anak rona (mempelai laki-laki) dengan keluarga anak wina (mempelai perempuan) perlu dibangun komunikasi yang baik agar segala persoalan yang berkaitan dengan hubungan keluarga dapat diselesaikan secara baik-baik.

Penulis: Antonius Mariano
Siswa Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial
SMAK Seminari ST. Yohanes Paulus ll Labuan Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *