Budaya Lokal dalam Arus Globalisasi: Ikut Berubah atau Bertahan?

Globalisasi

Pengantar

Pengaruh globalisasi tidak bisa dibendung lagi. Namun, globalisasi itu dibuat oleh manusia. Inti dari globalisasi adalah manusia. Manusia yang ada dalam globalisasi pun akan ikut terpengaruh oleh globalisasi itu sendiri.

Globalisasi adalah pencampuran pemikiran,  produk dan sosial budaya mudah mempengaruhi pemikiran orang lain dan budaya-budaya orang lain diseluruh dunia. Globalisasi memiliki sejarah yang panjang dalam dinamika perkembanganya.[1]

Sekurang-kurangnya globalisasi ini banyak diperbincangkan dirana publik. Hal ini bertolak dari suatu kenyataan bahwa globalisasi merupakan suatu fenomena ril yang telah membawa banyak perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia global.

Secara positif, globalisasi dipandang sebagai suatu usaha politik yang dapat mendorong terciptanya kesejateraan, kemakmuran dan kemajuan bagi keberlangsungan hidup manusia dalam segala bidang kehidupan.

Globalisasi juga membuka ruang bagi manusia untuk berkreasi dalam bidang teknologi, yang semakin maju. Namun, tidak jarang pula, globalisasi turut membawa dampak buruk bagi keberlangsungan hidup manusia.

Globalisasi dapat mempersulit kehidupan masyarakat, terlebih khusus bagi negara-negara berkembang termasuk indonesia.

Globalisasi sangat berdampak pada masyarakat biasa dan miskin. Orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi maju akan semakin berkembang, tetapi orang-orang kampong-kampong menjadi semakin mundur dan kesulitan beradaptasi.

Sekarang ini, entah disadari, atau tidak, globalisasi telah mendunia. Globalisasi telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Hemat saya, tidak ada satu orang pun yang luput dari globalisasi. Ancaman paling serius dari globalisasi adalah manusia dan kebudayan-kebudayaan lokal.

Masyarakat dalam Arus Globalisasi

Dewasa ini, apa yang terjadi dalam dunia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat masyarakat masuk dalam ruang globalisasi itu sendiri.

Berbagi barang produk teknologi ( contoh paling sederhana misalnya handphone) kini telah menjadi sahabat cengkraman barang yang satu ini. Setiap hari handphone selalu dipegang, dibawa ke mana-mana dan dipakai untuk kepentingan apa saja.

Perusahaan riset Data Reportal mengungkapkan jumlah perangkat seluler yang terkoneksi di Indonesia mencapai 370,1 juta pada Januari 2022, meningkat 13 juta atau 3,6 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya.[2]

Prediksinya, hingga tahun 2025 setidaknya bakal ada 89,2 persen populasi penduduk di Indonesia yang akan memanfaatkan beragam fitur di ponsel pintar.

Angka itu merujuk pada prediksi dalam kurun waktu enam tahun (2019-2025) terkait penetrasi pasar ponsel di tanah air yang bakal tumbuh 25,9 persen.

Pengunaan ponsel tidak hanya orang dewasa dan orang muda. Anak-anak usia dini juga sudah begitu mahir mengoperasikan ponsel misalnya untuk menonton film kartun di Youtube, menonton tiktok, Game online, dan lain sebagainya. Realitas ini hemat saya, menunjukan bahwa perkembangan globalisasi sudah masuk dan tinggal dalam kehidupan masyarakat.

\Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat akan barang-barang teknologi seperti ponsel ini misalnya, berakibat pada hilangnya ketergantungan orang akan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat seperti adat istiadat, nilai dan norma adat dan lain sebagainya yang pada dasarnya menjadi fondasi atau pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.

Sangat disayangkan ketika ketergantungan akan barang teknologi lebih tinggi, dibandingkan ketergantungan akan segala kearifan lokal. Fenomena ini seringkali dikeluhkan oleh kebanyakan orang tua ataupun pemerhati budaya pasalnya orang-orang muda lebih cendrung bergantung pada barang teknologi daripada budaya dimana dirinya dibentuk.

Di mana orang-orang muda lebih menyerap informasi, budaya, dan gaya hidup sebagai hasil produksi globlisasi ketimbang menyerap segala kearifan lokal dan nilai-nilai budaya telah lama diwariskan di dalam masyarakat.

Selain itu, generasi milenial sekarang ini lebih muda beradaptasi dengan budaya-budaya global yang diproduksi dari luar negeri untuk dijadikan gaya hidup yang lebih cocok dan biar dibilang trend.

Salah satu budaya yang dikonsumsi oleh anak-anak milenial sekarang adalah budaya K-pop atau budaya korea. Pemahaman tentang budaya korea ini acapkali diminati oleh anak-anak milenial, terlebih khusus para kaum hawa.

Hemat saya, alih-alih ikut trend tidak sadar akan kecanduan dan melupakan budaya khas sendiri. Klau hal semacam ini diantisipasi dengan baik, pengaruh-pengaruh tersebut tidak akan menjadi hal buruk.

Kecanduan bergaul dengan barang-barang teknologi dan juga budaya asing itu tak jarang berakibat pada munculnya krisis budaya. Dan ketika hal tersebut terjadi, orang akan melupakan budaya aslihnya dan bahkan meninggalkanya. Alhasil, orang akan mulai menganut budaya lain dan juga kecanduan akan barang teknologi semakin meningkat.

Budaya Lokal Ikut Berubah atau Bertahan?

Sekarang ini, globalisasi sudah masuk dalam kehidupan masyarakat dan menyentuh kehidupan pribadi setiap orang.

Segala nilai dan budaya yang mengiurkan yang ditawarkanya, seperti budaya materialisme, konsumerisme, hedonisme, individualisme, liberalism, pornografi, pornoaksi, turisme seks, perdagangan narkoba atau ganja, dan lain sebagainya perlahan-lahan menarik orang keluar dari budaya lokal.

Di sini globalisasi akan seperti ‘magnet’ yang menarik masyarkat untuk berkreasi bersamanya. Globalisasi akan terasa seperti instrumen yang melantumkan nadanya ke dalam denyut nadi masyarakat.

Fenomena ini sepertinya mengajak budaya lokal untuk dapat membuat tameng dari potensi pengaruh globalisasi ini.

Bertahan dalam mempertahankan semua kearifan lokal yang sudah lama hidup di dalam masyarakat, tidak boleh dimusnakan atau disingkirkan di tengah kuatnya arus globalisasi ini.

Setiap budaya lokal harus bisa membuat tameng yang kuat untuk melindungi diri dari pengaruh globalisasi yang berpotensi merusak.

Selain itu dalam mempertahankan budaya lokal, para penjaga tradisi yang hidup pada suatu kebudayaan lokal harus bisa membimbing dan mengarahkan orang pada satu tujuan untuk memperkuat kearifan lokal.

Berubah tentu boleh saja, tetapi dalam hal cara bukan dalam hal isi. Karena itu, berubah bukan secara mendasar atau substansial. Maksudnya dalam alur perubahan masyarakat tidak menhilangkan nilai luhur kebudayaan tersebut. Arus globalisasi yang kuat harus dihadapi secara kreatif. Masyarakat juga harus mempertahankan eksistensi diri dan budaya yang dianutnya.

Penutup        

Globalisasi pada giliranya mempertemukan kebudayaan modern/asing dengan kebudayaan tradisional/lokal. Globalisasi adalah jembatan yang mempertemukan dan menghubungkan dua kebudayaan satu sama lain.

Ketika budaya modern tinggal satu kampung dengan budaya lokal tradisional, amat boleh jadi dua-duanya berjuang untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing, atau boleh jadi budaya modern meruntuhkan hegemoni budaya lokal yang notabene menolak perubahan dan kemajuan.

Globalisasi memang bekerja untuk suatu perubahan tapi tugas kita saat ini ke depan adalah menjaga agar kebudayaan lokal tetap arif dan hidup. Pilihan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik demikianpun sebaliknya.

Penulis: Vincentius Galfan Muliadin
Soswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus ll Labuan Bajo


[1] Nur Syyaid Santoso Kristeva, Kapitalisme, Negara, dan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2015), hlm. 23-36.

[2] https://dataindonesia.id/digital/detail/pengguna-internet-di-indonesia-capai-205-juta-pada-2022. Diakses pada 28 januari 2023.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *