Tafsir Al-Qur’an Al Adzim, Hermeneutika Ibnu Katsir

Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Hermeneutika Ibnu Katsir
Al-Quran (Sumber: pixabay.com)

Nama Ibnu Katsir tidak asing di jajaran ahli tafsir Qur’an. Nama lengkapnya adalah lmaduddin Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyiqi al-Qurasyi asy-Syafi’i. Ia lahir pada tahun 700 H.

Ia dikenal sebagai seorang yang sangat menguasai ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu tafsir, hadis, dan sejarah. Sangat banyak karya yang telah ia hasilkan dan dijadikan rujukan oleh banyak ulama, huffaz dan ahli bahasa.

Pada tahun 768 H/1366 M Ibnu Katsir diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Buga di Masjid Umayah Damaskus. Pada tahun 774 H. Ibnu Katsir meninggal dunia di usia 74 tahun, dan dimakamkan disamping makam Ibnu Taimiyah (gurunya).

Karya yang pernah dihasilkan oleh Ibnu Katsir antara lain Tafsīr al-Qur’an al-Adzīm atau yang disebut juga Tafsīr Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah  (terdiri dari 14 jilid), al-Fusūl fī Sirah al-Rasūl, Thabaqāt asy-Syafi’iyyah, Qasas al-Anbiya, dan Manaqib al-Imām al-Syafi’I, Jami al-Masānid wa al-Sunan, al-Kutub al-Sittah, al-Takmīlah fī Ma’rifat al-Siqāt wa al-Du’afā wa al-Mujāhal, dan al-Mukhtasar.

Sekalipun ahli dalam berbagai bidang, namun ia paling dikenal sebagai ahli tafsir. Tafsirnya ini merupakan tafsir yang memberi manfaat  luar biasa, sebuah tafsir yang besar perhatiannya terhadap manhaj tafsir. Cara berpikirnya telah mempersembahkan metode yang dijadikan standar dalam riset, dan senantiasa dijadikan barometer hermeneutika islam.

Tafsir ini memiliki banyak keunggulan diantaranya yaitu kehati-hatian Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terlebih kaitannya dengan hadis yang kurang tsiqah. Ia mencoba sejauh mungkin untuk menghindarinya. Begitupun dengan penafsiran ayat israilliyat.

Metode yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

  1. Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Maksudnya, Ia menjelaskan satu ayat dengan ayat yang lain, karena dalam  ayat tertentu diungkapkan dengan abstrak (mutlak) Maka pada ayat yang lain akan ada spesifikasinya (muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan universal (‘âm) maka pada ayat lain dikhususkan (khâsh). Ibnu Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan ungkapan, “Cara yang paling baik dalam penafsiran adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”.
  2. Menafsirkan al-Qur’an dengan Sunnah (Hadis). Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua setelah al- Qur’an dalam penafsirannya. Sunnah adalah penjelas al-Qur’an. Bahkan dalam hal ini, Ia tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadis. Dalam mukaddimah tafsirnya ia mengungkapkan bahwa Sunnah menempati posisi seperti halnya al-Qur’an, hanya saja tidak diverbalkan.
  3. Tafsir al-Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, “Jika kamu tidak menemukan tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an maupun Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai sumber acuannya, karena mereka adalah orang-orang yang adil dan  sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia memasukkan metode ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya berpijak pada perkataan Ibnu Mas’ud, “Demi Allah tidaklah suatu ayat  diturunkan kecuali aku tahu untuk siapa ayat itu turun dan dimana letak turunnya. Dan bila ada seseorang yang lebih tahu daripada aku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Riwayat lain menyebutkan mengenai didoakannya Ibnu Abbas oleh Rasululllah ﷺ, “Ya Allah berilah kefahaman pada Ibnu Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya “.
  4. Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Ibnu Katsir mengacu pada metode ini karena banyak ulama tafsir yang melakukannya, artinya banyak tabi’in yang dijadikan acuan dalam tafsir. Seperti perkataan Ibnu Ishaq yang menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibnu Abbas, dan ia membenarkannya. Sufyan al-Tsauri berkata, “Jika Mujahid menafsirkan ayat, maka cukuplah ia untukmu”.

Jika melihat Tafsir Ibnu Katsir walaupun masuk dalam abad pertengahan, dimana era ini tafsir bil ra’yi sudah sedikit mendominasi, akan tetapi tafsir Ibnu Katsir cenderung menggunakan bentuk tafsir bil ma’tsur.

Menurut Ibnu Katsir dalam mukaddimah tafsirnya menyebut bahwa metode tersebut adalah metode yang terbaik dalam penafsiran al-Qur’an. Metode menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadis dan seterusnya merupakan prinsip-prinsip yang dipakai pada bentuk tafsir bil ma’tsur.

Walaupun sebenarnya tidak menutup kemungkinan terdapat bentuk-bentuk bil ra’yi dalam penafsirannya, sebagai contoh penakwilannya tentang ayat antropomorphisme (paham yang menyebutkan bahwa Tuhan itu mempunyai sosok atau bentuk tubuh sebagaimana sosok tubuh yang ada pada makhluk-Nya).

Mengenai Ibnu Katsir, Al-Zahabi  mengatakan “Ibnu Katsir merupakan imam besar yang bertindak sebagai mufti, ahli hadis, yang agung dan ahli tafsir”. Al-Suyuti juga mengatakan “Tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir yang tidak ada duanya. Belum pernah ditemukan kitab tafsir yang memiliki sistematika dan karakteristik yang menyamai kitab tafsir ini”.

Penulis: Ulvia Wardani
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Institut Ilmu Al-Qur’an An Nur Yogyakarta

Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *