Peran Dukungan Suami terhadap Psychological Well-Being Wanita yang Bekerja

Wanita karier dan suaminya
Ilustrasi: istockphoto

Di era modern seperti sekarang ini, wanita bekerja sudah menjadi pemandangan yang sangat normal dan biasa. Wanita telah membuktikan perannya dalam berbagai bidang seperti kesehatan, ekonomi, politik, dan sebagainya.

Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), terungkap bahwa perempuan di Indonesia lebih banyak yang bekerja dibandingkan laki-laki, dengan tingkat partisipasi angkatan kerja mencapai 53,34 persen, namun masih di bawah partisipasi laki-laki yang mencapai 82,27 persen.

Alasan perempuan memilih bekerja mencakup keinginan mendapatkan kebebasan, keuangan, prioritas karir, dan peningkatan kualitas hidup. Data BPS tahun 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 10,3 juta rumah tangga memiliki perempuan sebagai kepala keluarga sebesar 15,7 persen.

Fenomena ini mengubah pandangan tradisional bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam ranah domestik, kini mereka juga berperan sebagai pencari nafkah sejajar dengan suami untuk membiayai kebutuhan rumah tangga.

Namun, keputusan wanita untuk bekerja ini tentunya memiliki konsekuensi tersendiri, salah satunya adalah terjadinya role overload.

Tingey, Kiger & Riley (1996) menyebutkan bahwa wanita yang bekerja akan mengalami “second shift”, di mana hal ini dapat menimbulkan role overload serta ketidak mampuan dalam menyeimbangkan tuntutan dalam pekerjaan dan tuntutan dalam keluarga.

Psychological well-being sendiri dapat dipahami sebagai bentuk keseimbangan antara berbagai peran dalam kehidupan, sehingga individu dapat merasa puas dengan setiap peran yang dijalaninya (Padma & Reddy, 2013).

Menurut Purohit dkk (2013) Psychological well-being pada wanita yang bekerja merujuk pada kondisi mental dan emosional mereka dalam konteks pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Duxburry & Higgins pada tahun 2007  menemukan fakta bahwa perempuan lebih mungkin untuk memiliki peran yang berlebih jika dibandingkan dengan laki-laki. Ketika hal ini terjadi, tentu akan besar sekali peluang untuk munculnya berbagai masalah baik dalam keluarga maupun dalam pekerjaan.

Sehingga menimbulkan rendahnya psychological well-being pada perempuan yang bekerja sering terjadi, seperti yang terlihat dari kejadian nyata di sekitar. Perempuan yang bekerja sering mengalami dampak negatif, seperti stres, tekanan, kelelahan, rentan terhadap depresi, stres pekerjaan, dan masalah tidur.

Beban konflik peran dan tugas yang berlebihan dapat menjadi pemicu dampak negatif tersebut (Pudrovska & Karraker, 2014). Perempuan yang bekerja, meskipun dihadapkan pada tantangan dan stereotip, banyak yang mencari kebahagiaan dan penerimaan diri.

Dorongan sosial, seperti dukungan dari teman, keluarga, dan orang-orang terdekat, juga dapat memengaruhi tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis perempuan (Afianto, dkk 2022).

Emadpoor et al. (2015) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan aspek yang krusial dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang. Ibu yang bekerja menghadapi tantangan tidak hanya dari lingkungan pekerjaan tetapi juga dari keluarga dan anak-anaknya.

Dalam konteks ini, dukungan sosial menjadi elemen penting bagi setiap individu, dan kekurangannya dapat menyebabkan munculnya masalah psikologis seperti depresi, kesepian, dan kecemasan (Yasin & Dzulkifli, 2010).

Dalam menghadapi masalah dan tugas-tugasnya, dukungan dari pasangan memiliki peran krusial untuk mengatasi tekanan yang muncul (Akbay & Taşçı-Duran, 2018).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dukungan suami memiliki peran penting dalam meningkatkan psychological well-being perempuan yang bekerja. Dukungan suami, termasuk dukungan emosional, penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi, dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis perempuan (Putriyani, & Lstiyandini, 2018).

Kesejahteraan psikologis yang terpenuhi melibatkan penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Menurut Sarafino (2006), dukungan sosial emosional melibatkan ekspresi langsung seperti perhatian, empati, dan turut prihatin terhadap individu dari luar, seperti pasangan hidup, keluarga, teman, rekan kerja, dan organisasi komunitas.

Hal ini membuat individu merasa dihargai dan dicintai. Dengan dasar tersebut, individu akan memiliki psychological well-being yang baik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ryff dan Singer (1996).

Psychological well-being dipandang sebagai realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu, di mana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, mandiri, mampu menjalin hubungan positif dengan orang lain, beradaptasi dengan lingkungannya, memiliki tujuan hidup, dan mampu mengembangkan diri ke arah yang lebih baik.

Oleh karena itu, pada situasi ketika perempuan yang sedang bekerja tidak mendapatkan dukungan dari orang terdekat, kecenderungan memiliki psychological well-being yang rendah menjadi lebih besar.

Selain itu, kurangnya dukungan dapat menyebabkan kurangnya rasa percaya diri, sehingga individu sulit untuk mengeksplorasi potensi dirinya dan melihat peluang yang ada dalam dirinya untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Ilska dan Przybyła-Basista (2017) menambahkan bahwa dukungan sosial, khususnya dari pasangan, merupakan faktor protektif yang melindungi individu dari stres dan kekhawatiran.

Lawrence et al. (2008) menyebutkan bahwa dampak positif dari dukungan pasangan memiliki efek jangka panjang terhadap sikap, emosi, dan perilaku dalam hubungan tersebut. Dukungan yang dirasakan oleh istri dari suaminya mencerminkan keyakinan pasangan bahwa istri akan mendapatkan dukungan.

Penelitian juga menunjukkan bahwa istri yang merasakan dukungan dari suaminya cenderung memiliki tingkat kesehatan fisik dan psikologis yang lebih baik (Ryan et al., 2014). Yedirir dan Hamarta (2015) menyatakan bahwa dukungan yang dirasakan dari pasangan dapat mencegah timbulnya emosi berlebihan dan stres.

Dukungan dari pasangan dapat berupa rasa kebersamaan dan kasih sayang (belonging support). Cohen & Wills (dalam Brinker & Cheruvu, 2017) mengungkapkan bahwa suami dapat memberikan dukungan secara emosional berupa kepercayaan, kepedulian, empati dan cinta, serta melindungi seseorang dari efek yang dapat menimbulkan stress.

Belonging support juga dapat diberikan pada kondisi tanpa tekanan atau stress sekalipun. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan untuk munculnya konflik antara kehidupan pekerjaan dan keluarga.

Thomas & Hersen (dalam Nugraha & Kustanti, 2018) mengungkapkan bahwa salah satu bentuk konflik adalah adanya tekanan psikologis yang dialami individu disebabkan tekanan dari peran yang tidak sejalan atau saling bertentangan.

Bentuk dukungan lain yang dapat diberikan oleh suami kepada istri yang bekerja adalah appraisal support.

Ketika seorang wanita mendapatkan appraisal support yang cukup di mana pasangan secara aktif memberikan saran dan masukan untuk membantu mengurangi stressor yang dihadapi, hal ini tentu akan sangat membantu wanita bekerja untuk bisa bersikap lebih positif, dan lebih mudah untuk menciptakan psychological well-being dalam kehidupannya.

Dukungan yang diberikan juga dapat berbentuk pemberian penghargaan sehingga dapat meningkatkan perasaan kompeten pada wanita terhadap tugas dan pekerjaannya  (self-esteem support).

Wanita yang memiliki self-esteem yang tinggi dapat mendorong suasana hati yang baik sehingga dapat bersikap lebih positif saat menjalankan tugas-tugasnya baik tugas sebagai istri di rumah maupun tugas dalam pekerjaannya.

Selanjutnya, bentuk dukungan juga dapat berupa tindakan secara langsung, seperti suami ikut terlibat dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak (tangible support). Realitanya sejak dulu tugas untuk mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga selalu dibebankan kepada wanita, padahal bukan tidak mungkin tugas-tugas tersebut dilakukan oleh laki- laki.

Wanita yang mendapatkan dukungan tangible support dari pasangan tentu memiliki beban tanggung jawab yang lebih sedikit, sehingga dapat mengurangi stress yang dialami. Dengan kata lain, tangible support dari suami dapat membantu wanita bekerja untuk mengembangkan work-life balance yang baik.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan dari suami memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan psychological well-being pada wanita bekerja. Keputusan perempuan untuk bekerja membawa konsekuensi, termasuk beban kerja yang berlebihan atau role overload.

Fenomena ini dapat menyebabkan dampak negatif seperti stres, kelelahan, dan masalah kesehatan mental. Dukungan suami, terutama dalam bentuk dukungan sosial, appraisal support, dan tangible support, muncul sebagai faktor penting dalam menjaga kesejahteraan psikologis perempuan yang bekerja.

Kesejahteraan psikologis perempuan bekerja terkait erat dengan dukungan yang diterima, dan peran suami menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Oleh karena itu, dukungan suami bukan hanya berdampak pada perempuan secara individual tetapi juga pada kesehatan keluarga dan keberlanjutan karir perempuan dalam pekerjaan dan keluarga.

Setiap bentuk dukungan yang diberikan akan berdampak positif terhadap kesehatan mental wanita bekerja, seperti mengurangi stres dan depresi, meningkatkan well-being, dan sebagainya. Pada akhirnya hal ini akan berdampak positif terhadap psychological well-being pada wanita bekerja.

Penulis: Muhammad Zhariif Al Ghaaziy (2010321033)
Mahasiswa Psikologi Universitas Andalas

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

Akbay, A. S., & Taşçı-Duran, E. (2018). How does spousal support affect women’s quality of life in the postpartum period in Turkish culture?. Asian Women34(3), 29-45.

Ayuningtyas, L., & Septarini, B. G. (2013). Hubungan family supportive supervision behaviors dengan work family balance pada wanita yang bekerja. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi2(1), 50.

Dave, J., & Purohit, H. (2016). Work Life Balance and Perception: a conceptual framework. The Clarion-International Multidisciplinary Journal5(1), 98-104.

Duxbury, L., Higgins, C., & Lee, C. (1994). Work-family conflict: A comparison by gender, family type, and perceived control. Journal of family Issues15(3), 449-466.

Emadpoor, L., Lavasani, M. G., & Shahcheraghi, S. M. (2016). Relationship between perceived social support and psychological well-being among students based on mediating role of academic motivation. International Journal of Mental Health and Addiction, 14(3), 284–290. https://doi.org/10.1007/s11469-015-9608-4

Emadpoor, L., Lavasani, M. G., & Shahcheraghi, S. M. (2016). Relationship between perceived social support and psychological well-being among students based on mediating role of academic motivation. International Journal of Mental Health and Addiction14, 284-290.

Nilakusmawati, D. P. E., & Susilawati, M. (2012). Studi faktor-faktor yang mempengaruhi wanita bekerja di kota Denpasar. Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia8(1), 26-31.

Nugraha, P., & Kustanti, E. R. (2020). Hubungan antara dukungan sosial suami dengan konflik peran ganda pada perawat wanita. Jurnal Empati7(2), 794-801.

Padma, S., & Reddy, M. S. (2013). Role of family support in balancing personal and work life of women employees. International Journal of Computational Engineering & Management16(3), 93-97.

Padma, S., & Reddy, M. S. (2013). Role of family support in balancing personal and work life of women employees. International Journal of Computational Engineering & Management16(3), 93-97.

Pudrovska, T., & Karraker, A. (2014). Gender, job authority, and depression. Journal of health and social behavior55(4), 424-441.

Putriyani, R., & Listiyandini, R. A. (2018). Peran dukungan suami bagi kesejahteraan psikologis jurnalis perempuan. Jurnal Psikogenesis6(1), 35-45.

Rosari, D. R. F. (2017). Dukungan suami pada wanita berperan ganda dengan komitmen organisasi (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).

Ryff, C. D., & Singer, B. (1996). Psychological well-being: Meaning, measurement, and implications for psychotherapy research. Psychotherapy and psychosomatics, 65(1), 14-23.

Setyorini, D. M., Shodiqoh, A., Naufalani, N. A., Saputra, D., Pribadi, H. C., & Qomariah, N. (2023). Relationship Between Family Support and Work Family Balance in Career Women. Journal of Economics, Finance and Management Studies, 6 (2).

Sugianto, H., Afianto, C., & Mizan, M. M. (2022). Pengaruh Kompensasi dan Pengembangan Karir Terhadap Turnover Intention karyawan yang dimediasi oleh Kepuasan Kerja. MASTER: Jurnal Manajemen Strategik Kewirausahaan, 2(1), 97-108.

Tingey, H., Kiger, G., & Riley, P. J. (1996). Juggling multiple roles: Perceptions of working mothers. The Social Science Journal, 33(2), 183-191.

Vadnjal, J., & Vadnjal, M. (2013). The role of husbands: Support or barrier to women’s entrepreneurial start-ups?. African Journal of Business Management, 7(36), 3730.

WISMANTO, Y. B. (2022). Kesejahteraan psikologis pada ibu yang berperan ganda ditinjau dari dukungan suami dan tekanan psikologis. Gadjah Mada Journal of Psychology, 8(1), 71-81.

Yasin, M. A. S. M., & Dzulkifli, M. A. (2010). The relationship between social support and academic achievement among students. International Journal of Business and Social Sciences, 1(3), 110-116.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *