Pelestarian Budaya lewat Usaha: Kampung Blangkon

Pelestarian Budaya
Kampung Blangkon Potrojayan.

Blangkon adalah ikat kepala yang dipakai laki laki dalam tradisi busana Jawa. Terbuat dari kain polos maupun kain bermotif, menjadikan blangkon memiliki keindahan tersendiri. Blangkon berasal dari kata blangko yang berarti mencetak kosong, adalah suatu nama yang diberikan pada jenis-jenis iket yang telah dicetak (Soegeng Teokio,1980/1981 : 113).

Pada tahun 1970-an Mbah Joyo, yang dulu merupakan ahli pembuat blangkon di sekitaran keraton, memutuskan untuk menetap di Potrtojayan. Mulai dari situlah Mbah Joyo mengajarkan para tetangga untuk membuat blangkon. Hingga pada 1986, wilayah tersebut resmi diakui sebagai Kampung Blangkon.

“Dulunya saya juga belajar dari tetangga, ada yang membimbing, sampai akhirnya memutuskan untuk buka usaha sendiri. Awalnya dulu masih saya kerjakan sendiri, karna pesanan belum begitu banyak. Lama-kelamaan mulai dikenal orang, terus buka lapangan pekerjaan, nambah karyawan,” ucap Latif salah satu pengrajin blangkon.

Tidak hanya dikenal di masyarakat setempat, blangkon hasil produksi Kampung Blangkon sudah banyak dikirim ke berbagai tempat di Indonesia. Banyak para reseller yang datang untuk membeli dan dijual lagi. “Dulu pernah, ada yang beli orang Amerika, dia langsung datang kesini, dan langsung dibawa ke Amerika dulu,” tambah Latif.

Tantangan terberat dalam membangun sebuah usaha adalah modal awal. Begitu juga yang dialami para pengrajin blangkon di sini.

“Kalau kita ada banyak modal, kita tenang. Tiap hari bisa produksi, kalau tidak ada modalnya ya ndak bisa. Apalagi Covid-19 kemarin itu, saya benar benar full libur produksi. Objek objek wisata tutup, mau dijual kemana ndak bisa,” tambah Latif.

Namun Latif tak patah semangat, ia juga memikirkan bahwa blangkon ini adalah warisan budaya yang harus dilestarikan.

“Melestarikan budaya sudah menjadi kewajiban kita, jadi sebisa mungkin, dengan cara apapun, ya kita harus lakukan itu. Kalau saya ya lewat usaha produksi blangkon ini. Di samping melestarikan budaya kita, juga menciptakan lapangan pekerjaan untuk sesama. Harapan saya semoga industri seperti ini semakin berkembang, bahkan bisa menjadi peluang bisnis untuk anak muda,” ucap Latif.

Penulis: Adi Nugroho
Mahasiswa Film dan Televisi Institut Seni Indonesia Surakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Referensi

Toekio, Soegeng. 1980/1981. Tutup Kepala Tradisional Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 170 halaman.

Surakarta.go.id Kampung Blangkon: Jejak Warisan Seni Pembuatan Blangkon di Potrojayan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *