Di zaman modern ini, masyarakat Indonesia semakin mengenal budaya asing, baik dalam bidang makanan, musik, film, gaya berpakaian, dan sebagainya. Tren global mendominasi publik, khususnya pada kalangan generasi muda. Budaya asing terus dipromosikan di berbagai platform hiburan dan media sosial yang mudah mempengaruhi gaya hidup. Sebagai generasi yang bertumbuh dengan teknologi, tentunya kehidupan generasi muda diliputi oleh teknologi. Namun, jika budaya asing terus dipromosikan dan ditonton oleh masyarakat, budaya lokal yang kaya seperti Kolintang berisiko dilupakan. Apabila generasi muda terus mempromosikan budaya asing, siapa yang akan melestarikan budaya Indonesia?
Kolintang Kayu Minahasa merupakan alat musik tradisional yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Kolintang Kayu Minahasa terdiri dari sembilan alat yang menyerupai suatu ansambel. Setiap alat dimainkan dengan teknik pukul yang berbeda sehingga menghasilkan suara yang beragam. Kolintang dimainkan dengan cara dipukul oleh pemukul kayu yang dilapisi oleh kain yang menghasilkan suara yang merdu. Dalam tradisi Minahasa, Kolintang digunakan untuk mengiringi pertunjukan seni tradisional dalam upacara adat. Di masa ini, Kolintang juga dimainkan sebagai hiburan dan untuk mengiringi acara-acara seperti perayaan ekaristi di gereja.
Sekarang ini, Kolintang sedang diajukan sebagai warisan budaya UNESCO. Hal ini merupakan langkah penting bagi pelestarian Ansambel Kolintang Kayu Minahasa karena mendapatkan pengakuan sebagai budaya internasional. Maka dari itu, Kolintang harus dilestarikan. Akan tetapi, hal yang sering menjadi permasalahan bagi pelestarian Kolintang adalah bahwa masyarakat menganggap musik tradisional sebagai suatu hal yang kuno. Ditambah dengan perkembangan teknologi, generasi muda enggan untuk menekuni musik tradisional.
Sebagai alat musik Indonesia yang sedang diajukan menjadi warisan budaya UNESCO, sangat penting bagi kita untuk melestarikan Kolintang supaya tidak punah dan tidak diambil oleh negara lain. Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk melestarikannya, dimulai dari menggunakan media sosial yang kita miliki untuk mempromosikan permainan Kolintang Kayu Minahasa. Berdasarkan laporan yang dirilis oleh We Are Social pada Januari 2024, pengguna sosial media di Indonesia mencapai 139 juta jiwa, setara dengan 49,9% dari total populasi di Indonesia. Artinya, dengan menggunakan media sosial untuk mempromosikan Kolintang, masyarakat dapat lebih mengenal alat musik tersebut.
Selain itu, pewarisan dapat dilakukan dengan cara mengajar. Pembelajaran di sekolah merupakan salah satu cara untuk mewariskan cara bermain Kolintang. Seperti di SMA Santa Ursula Jakarta, pembelajaran Kolintang masuk ke dalam intrakurikuler, dimana siswa dapat mempelajari dan memainkan Kolintang bersama-sama. Dalam pembelajaran, metode yang digunakan juga sangat penting. Saat mengajar Kolintang, pelatih harus bisa mencontohkan sikap tubuh dan cara memegang stik Kolintang. Ilmu yang dipelajari siswa bergantung kepada cara guru mengajarnya.
Terakhir, untuk melestarikan musik Kolintang, kita harus bisa menciptakan impresi kepada masyarakat, khususnya kepada Generasi Z. Pementasan Kolintang harus lebih sering dipentaskan di lingkungan generasi muda, supaya semakin banyak orang mengetahui alat musik tersebut. Ditambah dengan adanya repertoire lagu yang sesuai dengan zaman ini, seperti aransemen lagu pop yang kreatif dengan adanya improvisasi, progresi akor, serta penggunaan gestur tubuh dan busana yang menarik perhatian, generasi muda akan lebih tertarik untuk menontonnya.
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk terus berinovasi dalam memperkenalkan dan menampilkan musik Kolintang agar tetap relevan dan menari bagi generasi muda. Dengan mengadaptasi Kolintang ke berbagai genre musik populer dan mengemasnya dalam suatu pementasan yang menarik, diharapkan generasi muda memiliki semangat untuk mempelajari dan melestarikan Kolintang sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia. Dengan demikian, Kolintang tidak hanya bertahan sebagai warisan budaya UNESCO, tetapi juga berkembang dan terus hidup di tengah perubahan dan perkembangan zaman.
Penulis: Kanaya Audrey Yovella Harijanto
Siswa SMA Santa Ursula Jakarta
Editor: Rahmat Al Kafi