Implementasi Kebudayaan Menggunakan Teori Behaviorisme terhadap Peserta Didik di Sekolah Dasar

Implementasi Kebudayaan Menggunakan Teori Behaviorisme
Ilustrasi Peserta Didik di Sekolah Dasar (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Indonesia memiliki banyak sekali keanekaragaman. Salah satunya yaitu kebudayaan daerah. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang baik bagi Indonesia. Namun, disisi lain Indonesia juga mengalami krisis kebudayaan.

Krisis kebudayaan ini tentu menjadi momok tersendiri bagi bangsa Indonesia. Apalagi saat ini westernisasi semakin marak dan berkembang sangat pesat di kalangan rakyat Indonesia.

Contoh nyata westernisasi yang sering kita lihat antara lain gaya hidup hedon, berbicara ala-ala orang barat, klub malam, gaya rambut kepirang-pirangan, dan juga pakaian mini. Bukan hanya orang dewasa yang terkena dampaknya, namun para golongan anak muda bahkan anak kecil ikut terdampak westernisasi.

Fenomena sosial ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan Masyarakat. Mereka mulai melupakan budaya sendiri. Mereka lebih suka hidup ala-ala manusia barat. Mereka bersikap angkuh, sombong, egois, dan individualis.

Shobach, et al (2022) mengatakan bahwa, “Jika ditanya mengenai pertunjukan tradisional atau bioskop, 86,4% dari mereka akan menjawab bioskop. Jika mereka disuruh memilih kemeja batik atau flanel. Hampir 93% dari mereka memilih kemeja flanel”.

Penggunaan bahasa daerah yang rendah, karena sebuah tuntutan global yang membuat penggunaan Bahasa asing semakin meningkat. Hal ini karena minimnya kosakata yang dikuasai dan tidak jarang mereka lebih menguasai kosakata kosakata asing. Ini adalah hal yang sangat memprihatinkan. Di mana budaya indonesia yang seharusnya dilestarikan tergeser begitu saja oleh sebuah budaya barat.

Menurut Koentjaraningrat (1974) kebudayaan memiliki tujuh unsur, yaitu: Bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sstem pengetahuan, religi, dan kesenian. Dilihat dari bentuk dan isi kebudayaan pada dasarnya adalah suatu tatanan yang mengatur kehidupan Masyarakat.

Kebudayaan itu terbentuk dari nilai-nilai dan juga norma-norma yang ada dalam Masyarakat tersebut. Kemudian kebudayaan tersebut berkembang sesuai dengan kebutuhan setiap Masyarakat yang terbentuk dalam sebuah sistem sosial.

Sistem ini selanjutnya akan terbentuk menjadi kebudayaan fisik. Kebudayaan fisik ini adalah hasil dari sebuah kebudayaan yang terwujud dalam bentuk benda-benda kebudayaan.

Dari pemaparan di atas bisa diketahui jika suatu kebudayaan mulai menurun nilainya, maka suatu tatanan Masyarakat juga akan ikut rusak bersama kurva kebudayaan tersebut. Tatanan Masyarakat yang rusak bisa dilihat dari perilaku Masyarakat itu sendiri.

Dalam Masyarakat itu sendiri kita bisa melihat kepribadian orang-orang yang berada dalam lingkup Masyarakat tersebut. Karena setiap orang memiliki pola sikap dan perilaku tertentu berdasarkan reinforcement (penguatan, ganjaran).

Disinilah peran guru sebagai seorang tenaga pendidik dimulai. Bukan hanya sebagai tenaga pendidik yang hanya memberikan teori. Namun sebagai tenaga pendidik yang dituntut harus serba bisa. Tenaga pendidik yang dituntut untuk melakukan pembaharuan tanpa mengabaikan kebudayaan.

Menjadi tenaga pendidik yang tangguh dalam menghadapi perkembangan zaman. Serta menjadi tenaga pendidik yang kreatif dan inovatif dengan menanamkan ciri khas suatu bangsa.

Sesuatu bisa terjadi apabila ada suatu rangsangan atau stimulus dari luar yang masuk ke dalam. Artinya jika kita sebagai tenaga pendidik ingin memancing sesuatu yang ada di dalam diri siswa maka kita harus memberikan umpan terlebih dahulu, ini sesuai dengan prinsip teori belajar behaviorisme.

Menurut Nahar (2016) teori belajar behaviorisme adalah suatu teori yang menuntut seorang guru memberikan rangsangan sebagai stimulus kepada anak dan hasil dari stimulus tersebut dapat diamati dan diukur berdasarkan berdasarkan tujuan untuk melihat ada tidaknya perubahan tingkah laku yang signifikan.

Agar tercapai hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan dan kegagalan-kegagalan terlebih dahulu. 

Pembelajaran dengan teori ini memiliki suatu kelebihan yaitu dapat membuat siswa lebih produktif, kreatif, dan dapat membentuk suatu perilaku positif yang diinginkan secara efektif. Dalam implementasinya teori ini sangat membutuhkan peran seorang guru.

Di mana guru diharapkan dapat berinteraksi secara aktif dengan peserta didiknya. Karena teori ini menekankan pada stimulus-respon yang bergantung pada faktor-faktor kondisional lingkunganya.

Seperti dalam mengajarkan kebudayaan, kita bisa menggunakan prinsip stimulus-respon-apresiasi. Di mana kita bisa memulai dari hal kecil seperti mengembalikan kebiasaan bersalaman kepada guru sebelum masuk kelas.

Setelah bersalaman kita bisa meberikan sebuah apresiasi dengan mengelus kepala sang peserta didik atau tersenyum dengan ramah. Lama-kelamaan tanpa mereka sadari mereka akan menjadikan bersalaman kepada orang yang lebih tua itu sebagai kebiasaan.

Salah satu bentuk praktiknya adalah dalam pembelajaran Bahasa daerah. Disini kita bisa mengeidentifikasi maasalah untuk menemukan Solusi dengan stimulus yang tepat.

Kita bisa menggunakan media musik tradional maupun gambar-gambar dengan ejaan Bahasa daerah dalam mengajarkanya (stimulus), lalu kita lakukan pengulangan-pengulangan. Hal ini nantinya akan menjadi kebiasaan yang akan menimbulkan respon atau perilaku  dari siswa dalam kehidupan sehari-harinya.

Dalam membentuk diri peserta didik yang berkearifan lokal. Kita bisa mulai memberikan stimulus dengan mencontohkan dan mengajak pada hal-hal kecil yang berbau kebudayaan. Misalnya dalam pengenalan batik Indonesia.

Kita bisa mencontohkan dengan memakai baju batik dan menjelaskan bahwa batik itu adalah salah satu warisan kebudayaan yang harus kita jaga keberadaanya. Setelah melihat contoh tersebut peserta didik akan memberikan sebuah respon yaitu meniru orang yang dipercayainya (guru).

Dalam memancing kekreatifitasannya kita bisa memberikan sebuah stimulus berupa gambaran apabila dia berhasil melakukan hal tersebut. Dalam praktiknya kita bisa mengajak mereka membuat suatu karya atau sebuah project yang berhubungan dengan kebudayaan Indonesia tapi dengan imajinasi dan kekreatifitasanya.

Semisal membuat karya batik ecoprint dengan media warnanya yaitu daun dan bunga kering. Dari sini selain kita mengenalkan salah satu jenis kebudayaan bangsa kita juga bisa mengenalkan bagaimana cara memanfaatkan alam untuk melestarikan suatu kebudayaan.

Dalam implementasinya kita juga dapat menggunakan stimulus dari media ethno card maupun cultural puzzle. Di mana disini kita sebagai guru dapat mengenalkan kultur kebudayaan yang ada kepada peserta didik dengan cara yang have fun. Sambil bermain kartu kita juga sambil mengajarkan kebudayaan seara langsung dengan gambar pada kartu tersebut.

Dengan bermain cultural puzzle kita bisa melatih kognitif peserta didik sekaligus mengajarkan kultur-kultur budaya yang ada. Dengan adanya stimulus lewat media seperti ethno card dan cultural puzzle diharapkan bisa menimbulkan respon pikiran yang kritis dan juga logis pada peserta didik.

Pemaparan diatas merupakan sebuah stimulus murni yang diberikan oleh seorang guru, siswa akan memberikan respon positif maupun negatif dari dalam dirinya yang disebut dengan hukum akibat (the law of effect).

Hukum ini adalah sebuah hukum yang menyatakan hubungan antara stimulus-respon diperkuat jika akibatnya memuaskan. Sebaliknya stimulus-respon diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.

Jadi suatu kebudayaan itu adalah sebuah tatanan Masyarakat yang bisa melemah kapan saja. Kebudayaan bisa dipulihkan kembali melalui sebuah pengajaran formal maupun nonformal. Kebudayaan tidak hanya mengenai sebuah kata namun sebuah identitas bangsa.

Kebudayaan bisa timbul jika ada stimulus-respon sesuai dengan prinsip behaviorisme. Sehingga, dalam implementasi pengajaran pelestarian budaya kita bisa mengajarkan dan mencontohkan hal hal yang berbau kebudayaan agar mereka bisa meniru dan meresponya dengan berpikiran kritis.

Kegiatan “meniru” dan “berpikiran kritis” tersebut bisa dikatakan sebuah respon. Maka terjadilah sebuah hukum akibat yang akan menetukan hasil akhirnya.

Penulis: Ela Fitriana
Mahasiswa PGSD, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *