Apa Yang Terjadi Di Sudan Selatan?

Apa Yang Terjadi Di Sudan Selatan

Sudan Selatan, secara resmi bernama Republik Sudan Selatan, adalah sebuah negara di Afrika Timur. Ibu kota dan kota terbesarnya adalah Juba, terletak di negara bagian Khatulistiwa Tengah sebelah selatan.

Negara terkurung daratan ini berbatasan dengan Ethiopia di sebelah timur; Kenya, Uganda dan Republik Demokratik Kongo di sebelah selatan; Republik Afrika Tengah di sebelah barat; dan Sudan di sebelah utara. Sudan Selatan meliputi kawasan rawa yang luas, Sudd, yang dibentuk oleh Nil Putih, secara lokal disebut Bahrul Jabal.

Negara ini awalnya merupakan bagian dari Sudan Anglo-Mesir, kondominium Britania dan Mesir, dan kemudian menjadi bagian dari Republik Sudan ketika mencapai kemerdekaan pada 1956. Sudan Selatan memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 9 Juli 2011 melalui hasil referendum yang dilaksanakan mulai tanggal 9 Januari 2011.

Mayoritas penduduk Sudan Selatan beragama kristen dan animisme keturunan Afrika. Sudan Selatan terbagi menjadi 10 pemerintahan administratif yaitu Central Equatoria, Eastern Equatoria, Jonglei, Lakes, Northern Bahr el Ghazal, Unity, Upper Nile, Warrap, Western Bahr el Ghazal, Western Equatoria.

Sebagaian besar rakyat wilayah selatan memilih untuk memisahkan diri dari pemerintahan pusat Sudan dan mendirikan negara baru Sudan Selatan.

Sebagai negara yang baru merdeka, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Sudan Selatan. Perbaikan ekonomi yang telah terpuruk karena perang berkepanjangan, kondisi sosial masyarakat yang harus diperbaiki, hingga konflik antar suku yang menyebabkan jutaan penduduk mengungsi dan ribuan korban meninggal dunia.

Kemudian terjadi Perang Saudara Sudan Kedua yang berakhir dengan Perjanjian Damai Komprehensif 2005. Pada tahun itu juga, otonomi selatan dikembalikan ketika Pemerintah Otonomi Sudan bagian Selatan dibentuk.

Kemerdekaan tidak mengakhiri konflik di Sudan Selatan. Setelah kemerdekaannya, Sudan Selatan terjebak dalam konflik, konflik tersebut kemudian berkembang menjadi kekerasan yang mematikan.

Pengelompokan antara Sudan bagian utara dan selatan yang berlatar belakang ras dan agama yang berbeda menjadi titik awal dimulainya pertikaian dan ketegangan yang menjadikan Sudan selama beberapa waktu terakhir ini dilanda konflik berkepanjangan.

Penduduk dari wilayah selatan sering kali tidak dilibatkan dalam sistem pemerintahan dan pengambilan kegiatan politik.

Perang saudara di negara baru ini juga dipicu oleh persaingan politik internal antara Presiden Salva Kiir Maryadit dan Wakil Presiden Riek Machar Teny Dhurgon yang kemudian berkembang menjadi perpecahan etnis di berbagai bagian negara.

Isu tribalisme dipolitisir guna mendapatkan dukungan dari kelompok komunitas mereka, terutama sumber daya manusia untuk berperang. Hal ini menyebabkan ribuan warga sipil tewas dan ratusan orang mengungsi.

Pada Desember 2013, menyusul pertikaian politik antara Kiir dan Machar yang berujung pada pencopotan Machar sebagai wakil presiden, kekerasan meletus antara tentara pengawal presiden dari dua kelompok etnis terbesar di Sudan Selatan.

Perang saudara yang terjadi pada tahun 2013 ini dikategorikan sebagai salah satu konflik mematikan di Afrika. Prajurit dari suku Dinka yang bersekutu dengan Kiir dan yang dari suku Nuer mendukung Machar. Di tengah kekacauan, Kiir mengumumkan bahwa Machar telah mencoba kudeta dan kekerasan menyebar dengan cepat ke negara bagian Jonglei, Nil Atas, dan Persatuan.

Sejak pecahnya konflik, kelompok bersenjata menargetkan warga sipil dari berbagai etnis, melakukan pemerkosaan dan kekerasan seksual, menghancurkan harta benda dan menjarah desa, serta merekrut anak-anak ke dalam barisan mereka.

Perselisihan antara Salva Kiir sebagai Presiden dan mantan wakil Presiden Riek Machar semakin meluas lagi menjadi perselisihan antar suku. Salva Kiir lahir dan dibesarkan dari Suku Dinka, suku mayoritas di Sudan Selatan. Sedangkan Machar lahir dan dibesarkan dari suku Nuer yang merupakan suku kedua terbesar setelah Dinka.

Sebelum terjadi ketegangan, Dinka dan Nuers adalah dua suku yang sangat rukun. Dinka dan Nuers menjalin kerjasama, hidup berdampingan dan beberapa ada yang melangsungkan pernikahan antar kedua suku ini. Melihat peta kekuatan antara Dinka dan Nuer, suku Dinka sedikit lebih unggul jika dilihat dari segi persenjataan.

Sebelum merdeka, Sudan Selatan pernah mengalami dua kali perang saudara dengan pemerintahan pusat di Sudan. Perang sipil pertama terjadi pada tahun 1956-1972 dan perang sipil kedua terjadi antara tahun 1983-2005.

Perang sipil yang kedua berakhir dengan ditanda tanganinya perjanjian damai antara pemerintah Sudan dengan SPLM/A yang tertuang dalam Comprehensive Peace Agreement (CPA). CPA selanjutnya menjadi titik balik bagi wilayah selatan untuk bangkit dari keterpurukan akibat perang yang sangat lama.

Pada perjanjian tersebut diterangkan bahwa wilayah selatan berhak melakukan referendum setelah melakukan 6 tahun masa interim. Masa Interim mulai diperlakukan pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2011.

Kilas balik sejarah di Sudan Selatan, konflik politik yang berubah menjadi perang etnis ini pernah terjadi sebelumnya pada tahun 1991, menyebabkan pembantaian etnis bersar-besaran.

Hal ini mengindikasikan bahwa perang saudara di tahun 2013 bukanlah suatu peristiwa baru, tetapi merupakan klimaks dari proses konflik kekerasan masa lalu yang telah bertransformasi ke dalam level yang lebih ekstrem di era kontemporer.

Hasilnya menunjukkan bahwa institusi negara yang lemah dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat serta menangani tekanan internal dan eksternal dari berbagai aspek; keamanan, ekonomi, sosial dan politik, merupakan faktor utama yang menyebabkan konflik kekerasan di negara tersebut terulang kembali.

Banyaknya permasalahan yang tidak tertangani ini dan keluhan serta protes masyarakatnya menyebabkan konflik pecah kembali.

Tak sampai disitu, kondisi setelah perang sipil pun membuat anak-anak Sudan Selatan mengalami putus sekolah, yang berakibat Tingkat kemampuan membaca penduduk Sudan Selatan sangat rendah.

Diperkirakan jumlah penduduk Sudan Selatan yang sudah mampu membaca diperkirakan hanya 27% dari total penduduk Sudan Selatan yang usianya lebih dari 15 tahun. Sejak tahun 2005, kondisi pendidikan di Sudan Sekatan berangsur membaik setelah penandatanganan CPA oleh pemerintah Sudan dengan SPLM/A.

Pendaftaran sekolah dasar mulai tumbuh sebesar 20% pertahun. Proses perbaikan sistem pendidikan ini mendapatkan bantuan dari berbagai belah pihak.

Tetapi ada yang terlupakan disini, tenaga pengajar masih belum begitu diperhatikan dan kurangnya infrastruktur pendidikan, fasilitas pendidikan dasar juga masih belum bisa diakses oleh semua. Jumlah pengajar pada saat itu juga sangat terbatas.

Hal ini karena seringnya terjadi keterlambatan gaji kepada pengajar ditambah lagi kondisi Sudan Selatan masih berkecamuk. Akibat dari perang antar suku ini memaksa para pengajar untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Gaji untuk para mengajar di Sudan Selatan juga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Sehingga mereka beralih profesi yang lebih menjanjikan secara materi.

Tujuan Sudan Selatan untuk memperbaiki pendidikan yang lebih baik pun harus tertunda karena konflik antar suku yang dimulai pada tahun 2013 akhir. Banyak bangunan sekolah di wilayah Sudan Selatan banyak yang telah hancur akibat perang antar suku.

Penulis: Nisrina Noor Khasanah
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Ahmad Dahlan

Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *