“Ada yang Mati Menuju Senja”

Payung Teduh Menuju Senja

(Pemaknaan lagu Menuju Senja – Payung Teduh)

Perbait dalam kidung ini menggambarkan bagaimana suasana di kala senja dan harumnya bunga mawar bagi sang empu. Tapi, semuanya bukan tentang itu.

Senja yang diyakini mampu menenangkan pikiran. Tenang, tapi dapat menciptakan kenangan di berbagai ingatan, entah itu buruk atau indah. Juga melahirkan kerinduan yang tak dapat terbendungkan.

Patutnya ketika teringat seseorang yang terkasih, yang pernah berarti dalam kehidupan, sang mawar yang harum. Dalam kerinduan tersebut terkadang menyelipkan luka. Karena tersadar bahwa keadaan telah berubah, semua tidak lagi sama seperti dulu. Orang-orang terkasih tak ada lagi di sisi maupun tak bisa dijumpai lagi secara nyata.

Terkadang ada suatu hal yang tidak membutuhkan tindakan apapun. Karena pada dasarnya telah sadar memang tak ada harapan lagi untuk bisa memiliki, melihat, maupun merasakan kembali. Kenangan tersebut hanya bisa dikenang dan dirindukan tanpa adanya pertemuan.

Kerinduan tersebut tak akan bisa terobati hingga memunculkan perasaan ‘kematian kecil’ dalam jiwa. Jiwa itu menjadi tumpuan perasaan rindu diantara kedua belah pihak yang menjalani hubungan cinta yang telah selesai. Tidak akan ada jalan untuk menangkal perasaan rindu yang menggali luka dalam hati, menganga tak ada yang mengobatinya tak ada yang menutupinya.

Sementara itu, setiap bait kidung ini yang selalu menggambarkan harum mawar, “Harum mawar di taman menusuk hingga ke dalam sukma”.

Mawar yang digambarkan sebagai kekasih sang empu. Bunga mawar tidak akan lengkap jika tidak disertai dengan harumnya.

Harum menusuk sukma itu digambarkan sebagai perbuatan, kelakuan atau bisa disebut dengan kenangan sang kekasih yang melekat di hati, pikiran, dan jiwa sang empu. ”Bersama setangkup bunga cerita yang kian merambat di dinding penantian”.

Setangkup bunga mawar tersebut mempunyai cerita atau kisah tersendiri bagi sang empu, yang merambat di dinding penantian yang digambarkan jika kisah tentang dirinya selalu ada selalu tertanam di dinding penantian atau di hati sang empu.

“Baru saja kuberanjak,” “Beberapa saat sebelum itu,” “Ada yang mati, menunggu sore, menuju senja, bersama”. Kematian yang dimaksud tidak selalu berarti mati secara bagaimana aslinya. Tapi bisa juga diartikan sebagai “pemberhentian”.

Seperti halnya berhenti mencintai seseorang yang terkasih, karena keadaan yang berbeda, tidak ada lagi cinta karena mereka yang sudah hilang bersama dengan yang lainnya. Bagaimanapun, keadaan tersebut tidak akan dapat diubah. ‘Kematian kecil’ itu akan terus mengikuti jika sang empu terus ‘menantikannya’.

Makna dalam kidung ini ternyata tak sesempit yang dikira. Syair ini dapat dimaknakan secara luas. Seperti menggambarkan tentang kerinduan kepada orang yang berkalang tanah, seperti bapak, ibu, keluarga, kerabat, sahabat, atau orang-orang yang terkasih lainnya. Maupun juga bisa digambarkan tentang seseorang yang pulang di waktu senja, mengalami kemacetan, kelelahan akibat bekerja seharian sehingga menampilkan paras wajah ‘mati suri’.

Tak hanya itu, jika kidung ini dapat divisualisasikan di depan indra, mungkin kita bisa melihat di beberapa tempat, entah sedang di atas gunung, tepi danau, pantai, ataupun taman pada waktu senja. Dapatlah kita menangkap ‘kematian-kematian kecil’ pada wajah lelah seseorang. Entah kelelahan dalam mejalani pekerjaanya, kelelahan merindu kekasihnya, atau? Kelelahan dalam menjalani kehidupan yang ranahnya penuh tanya?

Syair “Menuju Senja” didedikasikan untuk makhluk-makhluk yang selalu mati di tiap waktu senja nya. Syair ini layaknya sebuah melodi yang dimusikalisasikan, karena jika mereka diurutkan dengan tepat bisa menjadi sebuah runtutan wacana yang mengesankan dan penuh makna.

Riska Yulistiya

Penulis: Riska Yulistiya
Mahasiswa Jurusan Bahasa SMA Negeri 1 Kepanjen, Malang, Jawa Timur

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *