Konflik antar pelajar kini makin hangat diperbincangkan. Banyak sekali kasus perkelahian antar pelajar yang beredar di tanah air.
Konflik antar pelajar ini sangat bertolak belakang dengan statuss pelajar itu sendiri, yang dimana pada dasarnya pelajar merupakan generasi penerus bangsa yang bisa memberikan perubahan bagi bangsa dan negara.
Selain itu, hal ini juga bertolak belakang dengan peran pendidikan itu sendiri yang dimana pendidikan merupakan wahana strategis dalam upaya mendewasakan diri.
Pendidikan adalah penyebaran dan penanaman nila-nilai kehidupan. Nilai-nilai itu digunakan sebagai dasar atau acuan untuk memahami, menanggapi, dan mengembangkan perilaku seseorang selaras dengan kondisi dan situasi lingkungan sekitar serta perubahan yang terjadi.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional sepenuhnya belum tercapai. Hal ini yang menyebabkan mutu siswa belum sepenuhnya mencerminkan karakter yang diharapkan oleh tujuan nasional karena dilihat dari tingkat kelulusan saat ini sangat cendrung bersifat pragmatis, sekuler, materialistik, hedonistik, rasionalistik, dan sebagainya.
Oleh karena itu, lembaga pendidikan seharusnya tidak hanya meningkatkan pencampaian akademis, tetapi juga bertanggung jawab dalam pembentukan karakter yang baik.
Akan tetapi, tuntutan ekonomi dan politik pendidikan menyebabakan penekanan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peranan sekolah dalam pembetukan karakter.
Pendidikan karakter menjadi mengemuka untuk segera diperhatikan, terutama jika melihat fenomena yang berlangsung dalam kehidupan.
Di lingkungan pendidikan, tindakan penyimpangan perilaku mulai dari tingkat ringan sampai berat sering dilakukan pelajar, seperti membolos, merokok, bullying, pemalakan, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, tawuran, bahkan kerap kali mengakibatkan korban jiwa diantara pelajar.
Tindakan penyimpangan dikalangan remaja secara khusus pelajar semakin memprihatinkan, bukan hanya memperlihatkan peningkatan dari segi kuantitas tetapi juga kualitas. Bahkan, tingkah laku penyimpangan remaja sudah menjurus kearah kriminalitas, kian menjadi-jadi dan brutal.
Tidak jarang kita mendengar atau membaca berita dari media masa, surat kabar seorang remaja harus terengut jiwanya ditangan remaja lainnya tanpa alasan yang jelas.
Berbagai gejala perilaku dilakukan oleh para pelajar yang mencerminkan tindakan jauh dari yang dikatakan berkarakter, beradab, berbudaya luhur, dan berprikemanusiaan. Terbukti dari banyakNya kasus-kasus pelajar yang dimuat di media-media yang ada di Indonesia.
Kasus lain penyimpangan karakter dikalangan remaja yang jumlahnya makin meningkat adalah penggunaan narkotika dan zat adiktif lainnya(napza).
Menurut Deputi pencegahan badan narkotika nasional (BNN) sebanyak 22% pengguna narkoba di indonesia berasal dari kalangan remaja. Jumlah tersebut menempati urutan kedua terbanyak, setelah penggunaan narkoba dari kalangan pekerja.
Ternyata dari hasil studi diperoleh, bahwa sebanyak 70% pengguna dikalangan pekerja tersebut merupakan pemakaian lanjutan, yakni sudah menggunakan sejak menjadi pelajar (Koran Sindo Online 201).
Tindakan penyimpangan lain yang juga amat memprihatinkan maraknya perbuatan seks bebas yang terjadi dalam pergaulan remaja (termasuk pelajar).
Berdasarkan penelitian BKKBN pada tahun 2010 tercatan sebanyak 21% remaja, terutama di daerah perkotaan, diduga telah melakukan seks bebas atau seks di luar pernikahan.
Indikasi perbuatan itu terus mengalami kenaikan, yang diperbuat pula oleh tingginya angka kelahiran di usia remaja (Metrotv news 2013).
Sejalan dengan itu, Survei Demokrasi dan Kesehatan Indoneisa (SDKI) tahun 2012 menunjukan bahwa, kehamilan remaja pada kelompok usia 15-19 tahun mencapai 48 dari 100 kehamilan.
Fenomena di atas jelas tidak dapat dikatakan sebagai suatu kehidupan yang berkarakter dan beradab karena bertentangan dengan nilai-nilai falsafah hidup pancasila yang didukung oleh bangsa Indonesia.
Bukan itu semata, segenap fenomena itu dipastikan bahwa bertentangan dengan upaya mencapai tujuan pendidikan seperti yang tertuang dalam UU sistem pendidikan nasional no 20/2003 yakni berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Maka dari itu, pendidikan di Indonesia harus lebih menekankan lagi pengajarannya dalam membina moral den karakter siswanya, agar bisa membuat siswa yang lebih bermoral dan bertanggung jawab di kemudian harinya.
Penulis: Tandung Ernesto
Siswa Jurusan IPS SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo