Budaya Membaca vs Abad Literasi

Budaya Membaca vs Abad Literasi
Sumber: freepik.com

Penelitian UNESCO tahun 2019 membuktikan rata-rata anak-anak Indonesia hanya dapat membaca 27 halaman buku per tahun, artinya minat membaca anak-anak Indonesia masih sangat kurang sehingga diperlukan dorongan agar mereka mau membaca buku sedikitnya satu buku dalam satu bulan (Bandung Pos, 19 Agustus 2020).

Fenomena ini sangat kontradiksi dengan budaya anak-anak di Finlandia yang rata-rata mereka mampu membaca 300 halaman buku dalam waktu lima hari.

Bahkan budaya anak-anak di Jepang mencapai 150 halaman per hari dan kebiasaan membaca buku selama 10 menit sebelum belajar dan beraktivitas, ini adalah kebiasaan yang baik yang patut dicontoh dan dibudayakan di Indonesia.

Budaya baca Jepang yang tinggi mampu menjadi salah satu dari 10 rahasia sukses orang Jepang. Penumpang densha (kereta listrik) di Jepang, baik anak-anak maupun dewasa sambil membaca buku atau koran, baik yang duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca.

Banyak penerbit yang mulai membuat komik bergambar untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA.

Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi.

Baca Juga: Teknologi Digital dalam Proses Transfer Knowledge di Institusi Pendidikan Tinggi

Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan sebagainya).

Orang-orang di Jepang terbiasa membaca bahkan sambil berdiri, kebiasaan membaca di Jepang diawali dari sekolah (Yoshiko Shimbun). Para guru mewajibkan siswanya untuk membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Kebijakan ini telah berlangsung secara behavioristik, membentuk perilaku kegemaran membaca pada masyarakat Jepang.

Namun realita di lapangan, sebagian besar habituasi anak-anak Indonesia lebih senang aktivitas yang lain seperti menonton, memutar lagu, bermain game bahkan chatting di berbagai sosmed dari pada membaca.

Banyak fenomena di kelas peserta didik sering kali dijumpai belum siap belajar saat KBM dimulai karena kurangnya budaya membaca materi buku pelajaran mereka sehari-hari.

Pada saat guru menyampaikan apersepsi dan me-review materi pelajaran sebelumnya sering kali dijumpai peserta didik lupa tentang apa yang dipelajari kemarin jika tidak ada PR atau tugas.

Bahkan sebaliknya ditanya materi pelajaran selanjutnya peserta didik juga menjawab tidak tahu karena tidak membaca dengan alasan tidak ada PR atau tugas. Kebiasaan membaca terdorong pada saat akan ada ulangan harian atau formatif saja.

Keadaan ini akan menghambat peserta didik tersebut menghadapi zaman yang semakin maju sejalan perkembangan peradaban.

Baca Juga: Membaca Klasik Modern, Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Buku-Buku Abad 20?

Pergantian abad memiliki karakteristik yang berbeda sehubungan dengan perlengkapan, peralatan serta teknologi yang digunakan manusia untuk membantu kehidupannya.

Sejak zaman prasejarah dimana belum mengenal tulisan sampai sekarang era digital yang menuntut manusia harus menguasai teknologi melalui proses demi proses yang membutuhkan kemampuan dan budaya membaca yang tinggi.

Problematika di Indonesia saat ini adalah rendahnya keterampilan literasi kritis karena belum disadari oleh semua pihak, termasuk pendidik.

Aktivitas belajar yang belum mampu memaksimalkan kebiasaan peserta didik membaca dan menulis, sehingga ruang nafas literasi kritis untuk berkembang bebas.

Aktivitas membaca hanya menyerap informasi sebanyak-banyaknya, tanpa refleksi bacaan yang dibaca.

Banyak peserta didik bingung bila dihadapkan pada informasi yang yang memerlukan pemahaman tinggi.

Refleksi bacaan antara lain membuat tabulasi matrik, cerpen, biografi, resume, peta konsep, proposal penelitian dan sebagainya.

Urgensitas literasi kritis merupakan keterampilan yang harus dilatih di sekolah. Fungsi sekolah sebagai wadah gerakan pemikiran dan guru sebagai motor gerakan, sedangkan peserta didik adalah calon penggerak.

Kekompakan komponen akan memberikan dampak yang luar biasa bagi perkembangan pendidikan.

Seluruh komponen sekolah harus memiliki keterampilan literasi kritis, sehingga dapat memanfaatkan informasi dengan baik.

Baca Juga: Peran Penting Orang Tua dalam Upaya Menangani Kesulitan Membaca pada Anak Disleksia

Informasi harus menjadi alat untuk mendorong perubahan ke arah masyarakat yang berpikir maju. Informasi yang dapat memberikan celah perubahan dan inovasi yang berguna untuk kemajuan bangsa dalam menyongsong abad 21.

Abad ke-21 adalah abad literasi karena semakin canggihnya teknologi dan banyaknya ragam referensi dan literatur yang menyediakan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk dibaca dan dikuasai oleh peserta didik dengan membaca dan memahaminya.

Peserta didik tanpa membaca dan memahaminya akan mengalami kesulitan pada awal KBM dan saat belajar berikutnya.

Bahkan pada saat akan melaksanakan penilaian formatif peserta didik akan mengalami kegelisahan dan tidak menguasai isi mata pelajaran yang menjadi tugasnya untuk dikuasai.

Literasi menurut UNESCO adalah seperangkat keterampilan nyata khususnya keterampilan kognitif membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya.

Literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman.

Kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat.

Karena sifatnya yang “multiple effect” atau dapat memberikan efek untuk ranah yang sangat luas, kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian. Buta huruf, bagaimanapun, adalah hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik.

Tujuh dimensi dalam pengertian literasi adalah:

  1. Dimensi geografis bergantung tingkat pendidikan dan jejaring sosial,
  2. Dimensi bidang bercirikan tingkat kualitas bangsa dibidang pendidikan, komunikasi, militer, dan lain sebagainya,
  3. Dimensi keterampilan, bersifat individu melalui membaca, menulis, menghitung, dan berbicara,
  4. Dimensi fungsi melalui memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan potensi diri,
  5. Dimensi media, (teks, cetak, visual, digital) sesuai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, begitu juga teknologi dalam media literasi,
  6. Dimensi jumlah (kemampuan ini tumbuh karena proses pendidikan yang berkualitas tinggi contoh kemampuan berkomunikasi, dan
  7. Dimensi bahasa, (etnis, lokal, internasional) literasi singular dan plural, hal ini yang menjadikan monolingual, bilingual, dan multilingual.

Baca Juga: Penanaman Keterampilan Literasi dalam Meningkatkan Literatur Anak Sekolah Dasar

Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa, seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu membaca dan menulis.

Kesimpulan penulis tentang literasi adalah kemampuan membaca, menulis yang merupakan pintu utama bagi pengembangan diri seseorang tersebut untuk mencapai kesuksesan. Cara terbesar yang banyak digunakan untuk memperoleh literasi adalah melalui pendidikan.

Triani Rahmawati menyampaikan penegasan dalam Bimtek Tenaga Pengelola Perpustakaan Sekolah Tahun 2023 bahwa pengelola perpustakaan diharapkan mampu menjelaskan akan pentingnya literasi (kemampuan membaca dan menulis dengan baik) sebagai salah satu kecakapan di abad 21 serta harus terampil dalam menelusur informasi secara efektif, efisien, dan sesuai etika (Suara Merdeka, 8 Maret 2023).

Sekolah berperan penting dalam mengembangkan kreativitas siswa dan guru untuk mendongkrak literasi bangsa. Sekolah dapat mengembangkan keunggulan dalam literasi yang dimulai dari membaca hingga menulis.

Jika perlu, gerakan literasi sekolah tidak sekadar rutinitas. Saatnya mendorong gerakan literasi melahirkan karya otentik dari siswa dan guru.

SMA Labschool Jakarta, sekolah yang sudah mengimplementasikan semangat literasi dalam kegiatannya.

Sekolah menyediakan perpustakaan dengan fasilitas buku-buku yang menarik dan desain ruangan perpustakaan yang ramah dan nyaman, tetapi pembelajaran di sekolah pun dimanfaatkan untuk meningkatkan literasi siswa.

Sekolah ini menerapkan literasi untuk peserta didik dalam pembuatan tugas cerpen, biografi, karya tulis ilmiah bahkan proposal penelitian (riset untuk inventor muda) untuk event lomba LIPI dan karya lainnya (Kompas, 4 Mei 2022).

Beberapa potret keberhasilan sekolah yang mampu mengimplementasikan literasi banyak memperoleh manfaat yang besar antara lain: dapat menjadi keunggulan sekolahnya, dapat memperoleh prestasi dalam berbagai bidang lomba skala nasional bahkan internasional.

Baca Juga: Merajut Toleransi di Era Digital: Peluang dan Tantangan bagi Generasi Muda

Literasi harus direalisasi bukan hanya teori saja, terutama di lapangan dalam pendidikan maupun non pendidikan.

Sejarah kebudayaan Islam terdapat histori bahwa wahyu yang pertama kali diterima Nabi Muhammad saw. adalah surat Al-Alaq ayat 1-5 yang intinya diperintahkan Allah untuk membaca.

Sejarah Indonesia terukir bahwa R. A. Kartini mengajak kaum wanita untuk membaca dan bersekolah melalui karya Habis Gelap Terbitlah Terang yang memberi motivasi kepada kaum wanita untuk beremansipasi dalam pendidikan dengan membaca dan bersekolah kaum wanita harus mampu keluar dari era kegelapan ilmu.

Nasihat para ulama mengajarkan manusia untuk man jadda wa jadda artinya siapa yang bersungguh-sungguh dalam berusaha akan berhasil.

Gerakan membaca nasional sudah disosialisasikan secara nasional. Harapannya semua komponen yang berhubungan dengan gerakan membaca nasional tersebut menyambut dengan hati dan sikap yang terbuka untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional.

Tugas pendidikan nasional bukan hanya tugas guru di sekolah saja melainkan tugas semua pihak yang berhubungan dengan kompak mensinergikan kebijakan-kebijakannya sehingga harapan baik negara ini mampu mencapai tujuan antara lain semua peserta didik diharapkan mampu memiliki keterampilan literasi kritis yang tinggi.

Budaya Membaca vs Abad Literasi
Sumber: Dok. Penulis
Budaya Membaca vs Abad Literasi
Sumber: Dok. Penulis

Saat ini dan masa yang akan datang adalah saat yang tepat untuk membudayakan literasi sejak dini, siapa pun, kapan pun dan di mana pun berada, sehingga bangsa Indonesia akan dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain dalam menghadapi perkembangan yang semakin maju dan menuntut berbagai macam ketrampilan salah satunya keterampilan literasi kritis.

 

Penulis: Muhammad Arwani, S.Psi., M.Pd., M.M.
Guru Madrasah Ibtidaiyah Kementerian Agama Kudus

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *