Pendahuluan
Media sosial telah mengubah cara masyarakat memperoleh dan menyebarkan informasi. Dalam hitungan detik, sebuah unggahan dapat menjangkau ribuan bahkan jutaan orang. Kecepatan ini menjadikan media sosial sebagai sumber informasi utama bagi banyak kalangan, terutama generasi muda.
Namun, kemudahan tersebut juga membawa tantangan serius. Informasi yang beredar tidak selalu benar, berimbang, atau dapat dipertanggungjawabkan. Hoaks, disinformasi, dan manipulasi opini semakin mudah tersebar karena minimnya proses penyaringan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan logika dan berpikir kritis menjadi kebutuhan mendesak di era media sosial. Tanpa kemampuan tersebut, masyarakat berisiko menjadi korban informasi palsu dan bahkan ikut menyebarkannya.
Oleh karena itu, penguatan cara berpikir yang rasional dan kritis menjadi kunci untuk menjaga kualitas ruang publik digital.
Isi
Apa (What) yang menjadi persoalan utama di era media sosial adalah banjir informasi yang tidak diimbangi dengan kemampuan pengguna untuk memilah dan mengevaluasi kebenarannya. Informasi faktual sering bercampur dengan opini, sensasi, bahkan kebohongan yang dikemas secara meyakinkan.
Dalam kondisi ini, logika dan berpikir kritis berfungsi sebagai alat untuk menilai apakah sebuah informasi layak dipercaya atau tidak.
Siapa (Who) yang paling terdampak adalah pengguna media sosial dari berbagai latar belakang, khususnya remaja dan generasi muda.
Kelompok ini dikenal sebagai pengguna aktif media sosial yang menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk mengonsumsi konten digital. Tanpa bekal berpikir kritis, mereka rentan terpengaruh oleh narasi yang viral dan emosional.
Di mana (Where) fenomena ini terjadi? Media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook, X, dan WhatsApp menjadi ruang utama penyebaran informasi.
Di ruang digital ini, tidak ada proses penyuntingan layaknya media massa profesional. Siapa pun dapat menjadi pembuat berita, meskipun tidak memiliki kompetensi atau tanggung jawab etis.
Baca Juga: Dampak Negatif Kecanduan Gawai pada Anak dan Cara Mengatasinya
Kapan (When) isu ini semakin menguat? Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi dan meningkatnya aktivitas daring, penggunaan media sosial melonjak tajam.
Pada momen-momen krusial seperti pemilu, krisis kesehatan, atau konflik sosial, penyebaran hoaks meningkat signifikan karena informasi emosional lebih mudah menarik perhatian publik.
Mengapa (Why) logika dan berpikir kritis menjadi sangat penting? Berbagai survei literasi digital menunjukkan bahwa masih banyak pengguna media sosial yang belum terbiasa memverifikasi informasi sebelum membagikannya.
Dalam sebuah survei nasional literasi digital, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia berada pada kategori sedang. Artinya, kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi digital masih perlu ditingkatkan.
Survei lain menunjukkan bahwa lebih dari 50% pengguna media sosial pernah menerima informasi yang kemudian terbukti tidak benar, dan sebagian di antaranya mengaku sempat mempercayai atau bahkan membagikan informasi tersebut.
Selain itu, sekitar 30–40% responden mengaku hanya membaca judul berita tanpa menelusuri isi secara lengkap, sebuah kebiasaan yang memperbesar risiko salah paham.
Bagaimana (How) dampak dari rendahnya logika dan berpikir kritis ini? Dampaknya sangat luas, mulai dari kesalahan persepsi, konflik sosial, hingga pengambilan keputusan yang keliru. Contoh nyata terlihat pada penyebaran hoaks kesehatan.
Banyak unggahan di media sosial yang mengklaim obat atau metode tertentu dapat menyembuhkan penyakit tanpa dasar ilmiah. Karena disertai testimoni dan visual yang meyakinkan, informasi tersebut cepat dipercaya dan dibagikan.
Contoh lain muncul dalam konteks politik dan isu sosial. Potongan video atau pernyataan tokoh publik sering disebarkan tanpa konteks lengkap, sehingga memicu kemarahan dan perpecahan di masyarakat.
Survei menunjukkan bahwa konten bermuatan emosi negatif, seperti kemarahan dan ketakutan, memiliki tingkat penyebaran lebih tinggi dibandingkan konten informatif. Hal ini membuktikan bahwa tanpa logika dan berpikir kritis, pengguna media sosial mudah terjebak pada manipulasi emosi.
Di kalangan mahasiswa dan remaja, rendahnya berpikir kritis juga berdampak pada meningkatnya kasus penipuan digital. Banyak korban tertipu oleh iklan palsu, undian berhadiah fiktif, atau lowongan kerja tidak resmi yang tersebar melalui media sosial.
Padahal, dengan logika sederhana dan sikap kritis seperti mengecek sumber dan keabsahan informasi risiko tersebut dapat diminimalkan.
Untuk itu, penerapan logika dan berpikir kritis dapat dimulai dari langkah sederhana: membaca informasi secara utuh, memeriksa sumber, membandingkan dengan media kredibel, serta menahan diri untuk tidak langsung membagikan konten yang belum terverifikasi. Kebiasaan ini menjadi bentuk tanggung jawab sosial dalam menjaga kualitas informasi di ruang digital.
Baca Juga: Dampak Kecanduan Gadget terhadap Perkembangan Belajar Mahasiswa
Penutup
Di era media sosial yang serba cepat dan tanpa batas, logika dan berpikir kritis bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Data survei menunjukkan bahwa masih banyak pengguna yang belum memiliki kebiasaan memverifikasi informasi, sehingga hoaks dan disinformasi mudah menyebar luas.
Tanpa kemampuan berpikir kritis, media sosial berpotensi menjadi sumber kesalahpahaman, konflik, dan kerugian sosial.
Oleh karena itu, penguatan logika dan berpikir kritis harus menjadi bagian penting dari literasi digital, baik melalui pendidikan formal, peran keluarga, maupun kampanye publik.
Dengan kemampuan berpikir yang rasional dan kritis, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga penjaga kualitas ruang publik digital. Media sosial pun dapat dimanfaatkan secara lebih sehat, cerdas, dan bertanggung jawab demi kepentingan bersama.
Penulis: Zahra Nadhifa A. P. (1152500117)
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (Untag Surabaya)
Dosen Pengampu: Drs. Widyatomo Ekoputro, M.A.
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi












