Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara masyarakat, khususnya Gen-Z, mengakses berita dan informasi. Namun, arus informasi yang cepat juga memunculkan risiko penyebaran berita hoax yang dapat memengaruhi perilaku dan keputusan mereka (Taufik, Nasution, Maulidin, & Muttaqin, 2024).
Gen-Z sebagai generasi digital native cenderung terbiasa menerima informasi secara instan, namun hal ini membuat mereka rentan terhadap berita palsu jika tidak dibekali literasi media yang memadai.
Penelitian menunjukkan bahwa fitnah dan hoax dapat memengaruhi persepsi, nilai, dan bahkan tindakan sehari-hari Gen-Z, sehingga kemampuan menyaring informasi menjadi sangat penting (Taufik et al., 2024).
Literasi digital dan kesadaran kritis merupakan landasan penting bagi Gen-Z untuk menghadapi arus informasi yang tidak selalu akurat. Keterampilan ini mencakup kemampuan mengecek sumber, membandingkan fakta, dan memahami konteks berita sebelum mempercayainya (Taufik et al., 2024). Tanpa kemampuan tersebut, Gen-Z berisiko terjebak dalam penyebaran hoax yang dapat merugikan diri sendiri maupun lingkungan sosialnya.
Di era digital, tantangan terbesar bukan hanya jumlah informasi, tetapi kemampuan membedakan fakta dari tipu-tipu. Gen-Z harus memiliki strategi adaptif untuk menghadapi berbagai jenis konten yang menyesatkan (Taufik et al., 2024).
Penggunaan media sosial tanpa literasi kritis dapat menyebabkan persepsi yang salah terhadap isu sosial, politik, dan kesehatan. Oleh karena itu, penguatan literasi media dan pengembangan kesadaran kritis menjadi fondasi untuk menciptakan generasi yang tidak mudah dibodohi.
Isi
Gen-Z menunjukkan perilaku unik dalam konsumsi informasi, di mana mereka lebih mengandalkan media sosial sebagai sumber utama berita (Komara & Widjaya, 2024). Fenomena ini membawa risiko tersendiri karena algoritma platform cenderung menampilkan konten yang sesuai preferensi pengguna, termasuk hoax yang viral.
Oleh karena itu, strategi antisipasi hoax harus mempertimbangkan perilaku digital Gen-Z, termasuk kebiasaan mereka dalam memverifikasi informasi sebelum membagikannya (Komara & Widjaya, 2024).
Penelitian literatur menunjukkan bahwa penggunaan checklist faktual, cross-checking, dan tools verifikasi online efektif untuk meningkatkan ketahanan mereka terhadap disinformasi.
Selain itu, literasi digital yang dikombinasikan dengan kesadaran sosial dapat membantu Gen-Z mengenali tanda-tanda hoax. Misalnya, berita yang menggunakan bahasa provokatif atau tidak mencantumkan sumber terpercaya biasanya memiliki probabilitas tinggi sebagai informasi palsu (Komara & Widjaya, 2024).
Gen-Z dapat memanfaatkan teknik evaluasi sumber seperti melihat reputasi penerbit, kredibilitas penulis, dan tanggal publikasi. Strategi ini memungkinkan mereka menolak informasi yang menyesatkan tanpa harus menutup diri dari berita online.
Penutup
Kesadaran dan keterampilan literasi digital membuat Gen-Z tidak lagi mudah dibodohi oleh berita hoax. Strategi antisipasi yang meliputi pengecekan fakta, evaluasi sumber, dan diskusi komunitas terbukti efektif dalam meningkatkan ketahanan mereka terhadap disinformasi.
Generasi ini menunjukkan bahwa perilaku kritis dan cerdas dalam menggunakan media sosial dapat membentengi diri dari informasi palsu. Di era informasi yang serba cepat, kemampuan memilah fakta dari tipu-tipu menjadi kompetensi esensial. Dengan penguatan literasi media dan kesadaran kritis, Gen-Z dapat menjadi agen informasi yang bertanggung jawab dan bijak.
Penulis:
1. Arju Nanda Alfan Jauhar
Mahasiswa Universitas 17 Agustus Surabaya
2. Drs. Widiyatmo Ekoputro, M.A
Dosen Universitas 17 Agustus Surabaya
Referensi
Taufik, M. H., Nasution, Z. Z., Maulidin, M. Y., & Muttaqin, M. I. (2024). Dampak Fitnah Terhadap Perilaku Gen Z: Mengungkap Realitas Dan Tantangan. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(2), 1-14.
Komara, D. A., & Widjaya, S. N. (2024). Memahami perilaku informasi gen-z dan strategi melawan disinformasi: sebuah tinjauan literatur penggunaan media sosial. Jurnal Pustaka Ilmiah, 10(2), 155-174.












