Pernikahan Dini, Stunting jadi Resiko

bayi stunting

Belakangan ini, media massa sedang ramai membincangkan kasus terkait angka pernikahan dini di Indonesia yang relatif meningkat dan permintaan dispensasi yang semakin menjadi-jadi.

Permintaan anak untuk mengajukan pernikahan dini ke pengadilan agama Ponorogo karena hamil sebelum menikah adalah salah satu yang sedang hangat dipeerbincangkan (Kompas.TV-10/01/23).

Dispensasi menikah adalah keringanan yang diberikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.

Dilansir dari Kompas.com (02/10/22), perkawinan anak masih marak terjadi hingga sekarang. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, sepanjang tahun 2021, ada 59.709 kasus pernikahan dini diberikan dispensasi oleh pengadilan.

Alasan pengadilan mengabulkan permintaan dispensasi pernikahan ini adalah situasi mendesak, seperti anak perempuan telah hamil, anak berisiko atau sudah berhubungan seksual, anak dan pasangannya sudah saling mencintai, serta anggapan orang tua bahwa anak berisiko melanggar norma agama dan sosial, atau untuk menghindari zina.

Hal ini tentu sangat disayangkan, pasalnya menikah di bawah umur atau yang akrab dikenal pernikahan dini mempunyai banyak resiko.

Salah satu yang berbahaya dari pernikahan dini adalah melahirkan anak yang mengidap stunting. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2015, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya seorang anak berada di bawah standar umum.

Stunting bukan hanya tentang panjang atau tinggi badan seorang anak yang berada di bawah standar, ada pula banyak hal lain yakni, meningkatkan potensi sakit (hipertensi, jantung, kanker dan penyakit berbahaya lainnya) serta kematian pada seorang anak.

Selain itu, rentang usia bagi seseorang yang disebut melakukan pernikahan dini yaitu saat usia sekitar 13 tahun sampai 19 tahun.

Saat menginjak usia ini seorang anak atau remaja masih dalam masa pertumbuhan dan masih memerlukan asupan gizi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya.

Saat usia ini juga seorang remaja mestinya belum memahami sepenuhnya tentang mengolah emosional dan mempunyai kecenderungan belum stabil akan hal ini.

Secara psikologis juga, seorang remaja pastinya masih membutuhkan waktu untuk bersenang-senang dalam artian masih memerlukan waktu untuk mencari jati diri yang sebenarnya dan bermain bersama teman-teman untuk menambah pengetahuannya, belum matang jika mengurus rumah tangga.

Bisa diperkirakan jika seorang remaja putri melakukan pernikahan dini dengan alasan sudah mengandung, maka ia harus membagi segala asupan yang diperlukan bersama dengan bayi yang dikandungnya.

Jika nutrisi yang dikonsumsi oleh remaja ini kurang, maka hal ini membuat gizi yang diterima oleh bayi pasti akan berkurang. Sehingga, kondisi fisik dari bayi yang akan lahir kemungkinan tidak optimal atau di bawah standar normal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya stunting.

Maka dari itu adanya usaha dari pemerintah untuk meminimalisir terjadinya pernikahan dini ini adalah dengan menciptakan Undang-Undang terkait rentang usia yang cocok untuk menikah.

Kemudian terdapat sosialisasi dari pemerintah melalui Dinas Kesehatan terkait pengaruh pernikahan dini bagi kesehatan, juga terdapat slogan-slogan dari Dinas Kesehatan yang melarang adanya pernikahan dini.

Sosialisasi ini juga pastinya akan mendorong orang tua untuk mengajak anaknya mengerjakan hal-hal yang lebih positif daripada memikirkan menikah diusia muda.

Penulis: Yustinia Cahayani Ati
Siswa Jurusan IPA SMAK seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *