Politik dan pemimpin negara secara filosofis adalah nilai. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling berhubungan. Politik dan pemimpin merupakan fakta empirik dari suatu kelompok masyarakat yang diklaim sebagai negara.
Politik dan pemimpin negara seyogyanya berada pada suatu koridor yang mengedepankan nilai rasionalitas dan moralitas.
Prinsip rasionalitas artinya politik dan pemimpin yang bisa diterima oleh masyarakat dan menjalankan fungsinya secara becus dan benar sesuai status yang melekat dalam dirinya.
Kehadiran dari seorang pemimpin harus benar-benar menjawabi kebutuhan rakyat. Sementara Prinsip moralitas berarti politik dan pemimpin harus bisa menjadi unsur konstruktif perkembangan peradaban suatu negara.
Politik dan pemimpin seharusnya dapat melahirkan produk yang mengedepankan kedaulatan rakyat. Kehadiran sang pemimpin yang mempunyai etika perilaku yang sesuai harapan civil society (masyarakat sipil).
Bagi suatu negara, politik adalah salah satu proses untuk mencari pemimpin. Seandainya seorang pemimpin tidak memiliki kualifikasi tersebut, maka dia bukanlah pemimpin yang ideal. Karena itu kita bersepakat untuk mencari pemimpin ideal yang dapat menggendong Negara Kesatuan Republik Indonesia ini kearah yang lebih maju lagi.
Ungkapan mencari pemimpin ideal sebenarnya murni lahir dari sebuah kecemasan nurani rakyat yang prihatin terhadap kehidupan bangsa ini kedepannya. Akan kemanakan bangsa ini nantinya?
Jika kita membuat skala perbandingan, maka jelas terlihat bahwa proses pergantian kekuasaan di Indonesia relatif berjalan secara extra konstitusional. Secara de facto dan de jure, Indonesia sudah menjadi sebuah negara mandiri yang bebas dari imperalisme selama tujuh puluh tujuh (77) tahun.
Tujuh puluh tujuh (78) tahun merupakan sebuah fase kehidupan yang begitu panjang dengan pengalamannya yang kompleks.
Sepanjang fase itu pula, Indonesia telah melewati periode yang berbeda. Setidaknya 7 tokoh “terbaik” yang lahir dari rahim ibu pertiwi tampil di atas pentas kepemimpinan yang katanya subur dan permai.
Soekarno dan Soeharto masing-masing menamakan masanya Orde Lama dan Orde Baru. Sementara 5 orang lainnya berpentas dalam panggung reformasi. Periode boleh berbeda tetapi substansi kekuasaannya tetap sama walaupun ada sedikit perbedaan.
Sebagai misal, tumbangnya Soekarno hanya merupakan sebuah skenario paksaan atas kekuatan-kekuatan politik dan koalisi militer yang disimbolkan dengan meletusnya protes mahasiswa. Kemudian jatuhnya Orde Baru yang dipayungi oleh Soeharto yang merupakan akibat langsung gerakan mahasiswa’98 yang menggugat penerapan otoritarianisme selama 32 tahun.
Habibie sebagai penguasa darurat juga harus turun karena mengalami krisis legitimasi di tingkat parlemen. Kemudian tahun 1999 tampil Abdurahman Wahid sebagai putra sulung reformasi.
Menyusul Megawati yang lambat laun juga harus lengser dari tahta kepemimpinannya akibat penerapan sistem demokrasi yang hidup. Menyusul Susilo Bambang Yudoyono sebagai gambaran perubahan. Kemudian digantikan oleh Jokowi Dodo yang diklaim sebagai sosok pemimpin yang sangat humanis dan juga telah menunjukan gambaran perubahan dan kemajuan.
Tetapi sosok pemimpin kita ini juga akan segera diganti, yaitu pada tahun 2024 yang akan datang ini. Pilpres memang belum dimulai tetapi hingar bingar seputar hal ini telah semakin ramai.
Para kandidat bermunculan, tanggapan masyarakatpun bervariasi. Apakah pemimpin yang akan terpilih nanti benar-benar mampu menjawab kebutuhan rakyatnya?
Dalam menggagas idealisme kepemimpinan di negeri kita ini, seorang pemimpin maupun calon pemimpin mesti menampilkan diri sebagai Pertama, pemimpin yang harus pro rakyat. Seorang pemimpin yang ideal itu ada bersama rakyat dan berada diposisi rakyat serta melakukan apa yang dikehendaki oleh rakyat. Karena seorang pemimpin itu dipilih dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk kebaikan rakyat. Memang sulit untuk diprediksi pemimpin seperti itu. Tetapi paling tidak harus memiliki hal ini, yang sebenarnya menjadi pelayan masyarakat bukan penguasa. Mungkin perlu kali ya, sekali-kali presiden itu nongkrong di terminal?
Kedua, pemimpin itu harus bebas dan jauh dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Idealnya bagi seorang pemimpin itu harus menjauhi praktek KKN, karena keberhasilan sebuah kebijakan bergantung pada pengambil kebijakan itu sendiri.
Ketiga, pemimpin itu harus berintelek dan bijaksana. Seorang pemimpin ideal juga seharusnya cerdas dan pandai, sehingga dia dapat melihat dan mempelajari keadaan bangsanya serta mampu memecahkan masalah yang ada.
Selain itu dia harus dapat membaca peluang yang ada dan membuka diri terhadap peluang tersebut. Dengan demikian dapat membawa perubahan yang bisa menghidupi bangsa ini.
Demikianlah sekurang-kurangnya tiga hal ini yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin agar dia bisa memberdayakan masyarakatnya dalam kehidupan berbangsa dan dengan mudah bisa meraih cita-cita bangsa.
Negara ini membutuhkan seorang pemimpin yang betul-betul bisa dan mau melayani kebutuhan bangsanya. Menjadi seorang pemimpin membutuhkan suatu pengabdian penuh kepada rakyatnya. Seorang pemimpin harus rela berkorban dan yang paling penting adalah kerendahan hati untuk mendengarkan suara jeritan dari rakyatnya.
Penulis: Porfirios Samuel F. Lembak
Siswa Jurusan IPS SMAK Seminari ST. Yohanes Paulus II Labuan Bajo