OECD 2018 dalam datanya menyatakan bahwa krisis pembelajaran di Indonesia semakin menguat di masa pandemi dan belum mengarah pada perbaikan.
Hasil ristek dari kemendikbudristek menunjukkan bahwa terjadi learning loss dalam literasi yang setara dengan 6 bulan belajar dan learning loss dalam numerasi yang setara dengan 5 bulan belajar. Semua ini terjadi setelah satu tahun pandemi Covid-19.
Menanggapi hal ini, pada tahun 2022 pemerintah mengeluarkan kebijakan kurikulum baru yaitu kurikulum merdeka untuk tahun ajaran 2022/2023. Opsi kurikulum lain yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh pemerintah adalah kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 (K13) sudah diterapkan sejak 2014, tetapi penerapannya masih terbatas dan bertahap. Masih ada beberapa sekolah yang tidak ingin menerapkan kurikulum ini dengan alasan belum siap menerima kehadiran kurikulum 2013 ini.
Kurikulum ini lebih memfokuskan pada kemampuan para peserta didik, menuntut peserta didik untuk belajar lebih mandiri dan berpikir kritis.
Banyak yang beranggapan bahwa kursikulum 2013 sangat mendidik siswa dan efektif. Namun hal ini sangat bertolak belakang dengan mereka yang beranggapan berbeda tentang kurikulum 2013. Kurikulum 2013 memang efektif dan mampu meningkatkan kreatifitas pelajar dalam berpikir kritis.
Akan tetapi K13 sendiri memiliki kekurangan dalam beberapa hal, seperti materi yang wajib dikuasai oleh siswa terlalu banyak. Banyak siswa menjadi kewalahan. Hal inilah yang memberatkan peserta didik dalam menjalankan kurikulum ini.
Tidak terlepas dari itu, hal ini tidak saja dirasakan oleh para peserta didik. Para tenaga kependidikan pun ternyata merasakan hal yang sama. Banyak tenaga kependidikan yang belum memiliki kesiapan mental untuk menjalankan K13 ini kepada para peserta didiknya.
Oleh karena kekurangan yang belum dapat diimbangi dengan kelebihannya, dapat dikatakan bahwa K13 belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh pendidik maupun peserta didik di seluruh Indonesia.
Berangkat dari kasus pembelajaran tersebut, kemendikbudristek di masa Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan kebijakan untuk menyederhanakan kurikulum pendidikan yang terlalu padat dan tidak efisien. Kurikulum sebelumnya yang kurang fleksibel diubah menjadi fleksibel, yang dimana kurikulum tersebut diistilahkan dengan Kurikulum Merdeka.
Seperti yang dikutip dalam kompas.com, Bapak Nadiem sendiri mengatakan bahwa “Pada dasarnya peserta didik memiliki rasa ingin tahu dan keinginan belajar. Jadi, tidak ada peserta didik pemalas atau peserta didik yang tidak bisa.”
Berbeda dengan kurikulum 2013, kurikulum merdeka dinilai lebih simple dan intens, bebas dan leluasa, relevan dan interaktif. Mata pelajarannya juga tidak brgitu memberatkan peserta didik.
Karena dalam kurikulum merdeka, peserta didik dapat memilih pelajaran apa saja yang ingin dipelajari sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal ini sesuai dengan program merdeka belajar itu sendiri yaitu mengupayakan proses belajar siswa secara merdeka atau bebas sesuai dengan minat dan karakter mereka.
Para pendidik pun tidak lagi berperan untuk menjalankan kurikulum saja, namun mereka menjadi penghubung antara kurikulum dan minat siswa.
Kurikulum merdeka belajar kini memberikan kesempatan bagi para peserta didiknya untuk memilih arah tujuan hidupnya secara merdeka atau bebas sesuai dengan minat dan karakter mereka. Dibandingkan dengan kurikulum 2013, kurikulum merdeka dinilai lebih berpeluang untuk diterapkan dalam dunia pendidikan Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah juga diharapkan turut berperan aktif dalam manerapkan kurikulum merdeka belajar ini. Sehingga tujuan dari kurikulum itu sendiri dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Penulis: Maria Imelda Catherine Citra Rija
Siswa Jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II, Labuan Bajo, NTT