Perbincangan soal Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana kembali mencuri perhatian.
Harapan besar pun muncul, seolah revisi ini akan menjadi penawar bagi sakitnya penegakan hukum di Indonesia. Namun di balik optimisme itu, terselip rasa ragu.
Apakah revisi KUHAP benar benar bisa menjadi obat yang menyembuhkan, atau hanya kosmetik hukum yang menutupi luka lama tanpa benar benar menyembuhkan?
Bayang-Bayang Hukum Lama
KUHAP yang kita pakai sekarang lahir lebih dari empat puluh tahun lalu. Dulu digadang gadang sebagai simbol kemerdekaan hukum Indonesia dari warisan kolonial Belanda.
Tetapi seiring waktu, aturan yang dulu revolusioner itu mulai terasa usang.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan KUHAP masih jauh dari cita cita awalnya.
Achmad Fahrur Rozi dalam Lex Mercatoria tahun 2023 menulis bahwa hak tersangka, terutama hak atas bantuan hukum, sering kali tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Sementara penelitian lain di Jurnal Analisis Hukum (Undiknas, 2023) menemukan bahwa penyidikan yang tidak dibatasi waktu justru membuat tersangka rentan terhadap tindakan sewenang wenang.
Jika dibaca dari naskah undang-undang hukum kita memang tampak rapi, tetapi dalam penerapannya sering kali kehilangan sisi kemanusiannya.
Prosedur yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi alat yang menekan.
Mengapa Revisi KUHAP Penting
Tahun 2026 nanti Indonesia akan mulai menerapkan KUHP baru. Itu berarti aturan tentang prosedur peradilan pidana juga harus diperbarui.
KUHP adalah isi dari hukum pidana, sedangkan KUHAP adalah cara menjalankannya. Bila keduanya tidak berjalan seirama, hukum hanya akan kuat di teks, tapi lemah di praktik.
Dani Diyaulhaq dan rekan rekan dalam Jurnal Ikamakum tahun 2024 menulis bahwa revisi KUHAP harus menyesuaikan diri dengan zaman.
Dalam drafnya, RUU KUHAP mulai mengenal sistem e-court dan e-litigation, yang memungkinkan proses hukum dilakukan secara elektronik. Tujuannya agar sidang bisa lebih cepat dan terbuka.
Ada pula gagasan jalur khusus atau plea bargaining, seperti yang dijelaskan Anggoro dan tim dalam Cita Hukum (2023).
Melalui mekanisme ini, terdakwa yang mengakui kesalahannya bisa memperoleh keringanan hukuman. Di satu sisi, hal ini bisa mempercepat penyelesaian perkara.
Namun disisi lain, banyak yang khawatir pengakuan itu bisa muncul karena tekanan, bukan kesadaran.
Antara Harapan dan Kosmetik
Jika dibaca sekilas, RUU KUHAP terlihat sangat menjanjikan. Namun sejarah hukum kita menunjukkan bahwa revisi undang undang tidak selalu membawa perubahan di dunia nyata.
Arnott Ferels dan Hery Firmansyah dalam Syntax Literate (2023) menyebut masih adanya kekosongan hukum atau rechtsvacuum dalam sistem peradilan pidana.
RUU KUHAP memang mencoba menambal celah itu, tetapi Ferels mengingatkan, hukum tidak akan berubah hanya dengan menambah pasal. Yang harus diubah lebih dulu adalah budaya berhukum para aparatnya.
Selain itu, dari sisi kesetaraan gender, pembaruan ini masih belum sempurna. Artikel dalam Al Zayn Jurnal Ilmu Sosial dan Hukum (2023) menunjukkan bahwa RUU KUHAP belum sepenuhnya berpihak pada perempuan.
Prosedur yang ada belum mampu memberikan perlindungan yang layak bagi korban kekerasan seksual.
Jika hal itu terus dibiarkan, hukum acara pidana baru hanya akan menampilkan wajah yang sama, hanya saja dengan riasan baru.
Korban Masih Jadi Penonton
Salah satu kelemahan mendasar dalam hukum pidana kita adalah posisi korban yang sering kali terpinggirkan.
Yuliartini dalam Jurnal Komunikasi Hukum (2023) menulis bahwa sistem peradilan Indonesia lebih fokus pada pelaku ketimbang korban.
Setelah perkara masuk ke pengadilan, korban kehilangan ruang bicara, kehilangan hak untuk tahu, bahkan kehilangan hak untuk pulih.
Padahal keadilan sejati bukan hanya menghukum, melainkan juga memulihkan.
Revisi KUHAP seharusnya menjadi kesempatan untuk memperbaiki ketimpangan ini, menempatkan korban sebagai subjek hukum yang berhak atas perlindungan dan pendampingan, bukan hanya saksi yang dilupakan setelah vonis dijatuhkan.
Tantangan di Lapangan
Rochman dan tim dari Universitas Bengkulu (2025) menemukan bahwa hambatan terbesar revisi KUHAP bukan pada isi rancangan undang undangnya, melainkan pada pelaksanaannya.
Ego sektoral, tumpang tindih kewenangan, dan lemahnya koordinasi antar lembaga membuat hukum sering kali mandek di tengah jalan.
Selain itu, digitalisasi hukum yang ditawarkan RUU KUHAP tidak akan berhasil tanpa kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia.
Teknologi bukan sekadar alat, melainkan tanggung jawab. Tanpa pelatihan dan sistem pengawasan yang kuat, semua itu hanya akan menjadi jargon kemajuan.
Peran Publik yang Tak Boleh Dikesampingkan
Revisi KUHAP tidak boleh menjadi urusan segelintir orang di ruang rapat. Hukum harus dibentuk dengan melibatkan suara mereka yang merasakannya setiap hari, mulai dari advokat, akademisi, lembaga bantuan hukum, hingga korban kejahatan.
Nazla Husnayain dalam Jurnal Advokasi Hukum (2023) menekankan bahwa keberhasilan penerapan keadilan restoratif bergantung pada kemauan politik hukum pemerintah.
Tanpa niat untuk mengubah perilaku aparat, revisi hukum hanya akan jadi formalitas.
Hukum yang tertutup dari partisipasi publik pada akhirnya akan kehilangan kepercayaan. Dan tanpa kepercayaan, hukum hanya akan menjadi teks dingin yang dibaca tanpa makna.
Dari Mengadili Menuju Memulihkan
Revisi KUHAP adalah kesempatan langka untuk memperbaiki cara berhukum di negeri ini. Pembaruan tidak cukup berhenti di pasal pasal baru, tapi harus menebus cara berpikir penegak hukum dan sistem yang menopangnya.
Negara hukum yang sejati bukan hanya menegakkan aturan, tapi juga menjamin rasa keadilan bagi setiap warganya.
Bila revisi KUHAP hanya memperindah teks undang undang tanpa menyentuh hati para pelaksana hukumnya, maka ia hanya menjadi hiasan hukum yang tidak bermakna.
Namun jika dijalankan dengan kesungguhan dan keberanian moral, revisi ini bisa menjadi obat keadilan yang memulihkan luka lama dan menghidupkan kembali harapan terhadap hukum yang benar benar manusiawi.
Penulis:
1. Desak Nyoman Putri Krisna Pradnyaniti
2. Anak Agung Gde Agung Radityatama
3. Morgan Arthur Louis Silaen
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum, Universitas Udayana
Dosen Pengampu: Eirenne Pridari Sinsya Dewi, S.S., M.Ed.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News












