Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, sistem pembayaran di Indonesia telah mengalami transformasi yang signifikan. Salah satu inovasi yang muncul adalah QRIS (Quick Response Indonesian Standard), sebuah sistem pembayaran digital yang dirancang untuk mempermudah akses transaksi tanpa uang tunai. Namun, bagi sebagian masyarakat, terutama lansia, hal ini justru menjadi tantangan baru yang sulit untuk dihadapi.
Keterbatasan Pemahaman QRIS
Penggunaan metode pembayaran digital seperti QRIS membutuhkan adanya pemahaman terhadap teknologi, mulai dari ponsel pintar dan aplikasi pembayaran. Bagi sebagian anak muda, hal ini tentulah sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Namun, bagi lansia yang tidak tumbuh di era modern ini, mereka cenderung merasa kebingungan dan kesulitan dalam memahami cara menggunakan QRIS.
Salah satu hambatan utama bagi lansia dalam menggunakan QRIS adalah kurangnya pemahaman terhadap aplikasi pembayaran digital seperti ShopeePay, OVO, dan GoPay karena tidak terbiasa. Mereka sering merasa bingung dengan langkah-langkah yang harus diikuti mulai dari proses mengunduh aplikasi, mengisi saldo, hingga memindai kode QR.
QRIS, Sistem yang Terlalu Kompleks
Sebagai anak muda, QRIS memanglah praktis untuk bertransaksi karena semuanya dilakukan hanya dengan satu sentuhan. Namun, bagi lansia, proses inilah yang bisa terasa rumit. Selain itu, faktor seperti kebutuhan untuk memindai kode QR, memastikan saldo cukup, serta koneksi internet yang stabil menjadi tantangan tambahan. Banyak lansia merasa bahwa proses ini lebih rumit dibandingkan dengan menggunakan uang tunai.
Sekretaris Jendral Asosiasi Pedangang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Mujiburrohman mengatakan bahwa penggunaan transaksi secara digital oleh pasar UMKM hingga ritel di daerah masih belum merata. Berdasarkan data APPSI, menunjukan bahwa pengguna pembayaran digital di daerah seperti penggunaan QRIS hingga e-wallet baru mencapai 5%. Mujiburrohman mengatakan salah satu faktor yang mempengaruhi masyarakat yang masih tidak mau menggunakan QRIS sebagai alat transaksi pembayaran ialah karena masyarakat yang masih didominasi oleh generasi baby boomer atau gen X dimana mereka lebih memilih untuk tidka menggunakan metode pembayaran rumit seperti QRIS. “Jadi pelaku pasar di daerah masih jarang yang milenial atau gen z. Orang-orang tua ini tidak mau ribet pakai aplikasi di smartphone. Mereka lebih memilih transaksi tunai. Anak-anak mereka jarang yang mau bantu di pasar,” katanya, Kamis (11/7/2024).
Uang Tunai Tetap Juara
Dikarenakan beragamnya kesulitan tersebut, banyak lansia yang merasa lebih nyaman dan setia untuk menggunakan uang tunai dibandingkan dengan uang elektronik. Selain lebih sederhana, mereka menganggap bahwa menggunakan uang tunai jauh lebih mudah dan aman daripada harus berurusan dengan QRIS dan pembayaran digital lainnya. Hal ini dikarenakan penggunaan uang tunai yang tidak membutuhkan perangkat elektronik yang rawan akan kesalahan serta pencurian data. Bagi mereka, uang tunai memberikan rasa percaya diri lebih pada saat bertransaksi.
Walaupun QRIS merupakan inovasi yang memberikan berbagai kemudahan, tetapi kesenjangan pemahaman teknologi di kalangan lansia dapat menunjukan bahwa tidak semua pihak siap untuk menghadapi perubahan akan kemajuan teknologi. Lansia masih memerlukan bimbingan untuk dapat beradaptasi dengan teknologi ini. Dengan pemahaman yang terbatas, kekhawatiran terhadap keamanan, dan kompleksitas teknologi pembayaran digital, banyak lansia enggan beralih dari metode pembayaran konvensional.
Oleh karena itu, diperlukan program edukasi dan pelatihan yang khusus untuk masyarakat lansia. Pendekatan yang sederhana, seperti pertemuan tutorial di komunitas dapat membantu mengatasi kesenjangan digital ini. Dengan langkah ini, diharapkan lansia dapat memanfaatkan teknologi modern tanpa merasa terbebani sehingga mendorong perkembangan dalam sistem pembayaran digital di Indonesia.
Penulis:
1. Eve Leecia Cen
2. Nayaeli Dativa Gunawan
Siswa SMA Santa Ursula Jakarta