Kejahatan Kekerasan dalam Rumah Tangga selama Kehamilan: Tantangan Tersembunyi untuk Kesehatan Perempuan dan Janin

Kesehatan Perempuan dan Janin
Ilustrasi Kejahatan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Sumber: Pinterest.com)

Kehamilan merupakan suatu anugerah terbesar bagi setiap umat manusia yang sudah berkeluarga. Walaupun kehamilan merupakan suatu fase kehidupan yang sifatnya normatif, namun pengalaman yang dialami oleh setiap pasangan memiliki berbagai fenomena maupun kondisi yang berbeda-beda dalam menghadapi kehamilan.

Masa kehamilan dianggap sebagai suatu gerbang transisi kehidupan yang membawa banyak perubahan secara signifikan bagi perempuan. Fase ini bersifat krusial di mana kesejahteraan ibu dan janin akan menjadi prioritas utama.

Selama kehamilan, tubuh perempuan akan memproduksi hormon estrogen sembilan kali lipat dan hormon progesteron dua puluh kali lipat lebih banyak dibanding pada masa menstruasi normal (Dewi, 2022). 

Kehamilan juga merupakan proses transisi sosial dan psikologis yang kompleks, tidak hanya mengalami perubahan dari aspek biologis, melainkan perempuan mengalami perubahan multiaspek dimulai dari aspek sosial, psikologi, budaya, spiritual dan aspek emosional (Pangesti, 2018).

Oleh karena berbagai perubahan yang terjadi pada perempuan selama masa kehamilan, lingkungan fisik dan psikologis yang sehat menjadi kebutuhan penting bagi seorang calon ibu.

Upaya untuk menjaga stabilitas kondisi fisik dan mental ibu hamil menjadi kunci untuk mengurangi risiko komplikasi selama kehamilan dan persalinan.

Namun, sayangnya, tidak semua ibu hamil dapat menikmati fase ini dengan damai. Kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan terhadap pasangan intim (Intimate Partner Violence/IPV), dapat memberikan dampak yang serius pada ibu hamil.

Meskipun jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan terlihat rendah di Indonesia, proporsi kekerasan terhadap perempuan secara global diperkirakan cukup tinggi. Dalam esai ini akan membahas fenomena kekerasan dari pasangan intim serta dampaknya terhadap kesehatan ibu hamil dan janin.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga bukanlah fenomena baru di masyarakat. Meskipun demikian, permasalahan ini masuk dalam kategori permasalahan serius bagi kesehatan dan kesejahteraan publik di seluruh dunia.

Kekerasan rumah tangga khususnya terhadap pasangan disebut dengan istilah Intimate Partner Violence (IPV). IPV mengacu pada seluruh perilaku kekerasan (fisik, seksual, emosional, dan perilaku mengontrol) yang dilakukan oleh pasangan intim dan dapat menyebabkan kerugian secara fisik, psikologis, atau seksual bagi korbannya (WHO, 2012).

Menurut WHO, intimate partner violence (IPV) merupakan kekerasan yang memiliki prevalensi tinggi di seluruh dunia, serta merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling sering mengancam perempuan (WHO, 2012).

Pada tahun 2022, tercatat sebanyak 641 juta perempuan pernah mengalami kekerasan oleh pasangannya (WHO, 2022).

Di Indonesia sendiri, berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan tahun 2023 menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup personal menjadi kasus kekerasan paling dominan yakni sebanyak 2098 kasus, 622 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri (Komisi Nasional ANti Kekerasan Terhadap Perempuan, 2023).

Berdasarkan studi literatur, ditemukan bahwa pada kasus perempuan yang sedang hamil prevalensi terjadinya kekerasan oleh pasangan intim berada pada rentang 1.5-66.9% angka kejadian (Mojahed et al, 2021).

Kekerasan secara psikologi menempati urutan pertama sebagai bentuk kekerasan dengan tingkat prevalensi paling tinggi dialami oleh perempuan yang sedang hamil (Mujahid et al, 2021).

Fenomena yang baru-baru ini terjadi, tepatnya pada bulan Desember tahun 2023 lalu, dilansir dari media Kompas.com bahwasanya terdapat kasus kekerasan yang sempat menghebohkan masyarakat yaitu adanya penemuan mayat perempuan yang tewas dalam kondisi hamil tiga bulan di dalam rumahnya di Kecamatan Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara.

Kasus ini diduga merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh sang suami.

Berdasarkan keterangan saksi, malam sebelum ditemukan tewas, korban sempat menelpon orang terdekat dan mengatakan bahwa ia mengalami kekerasan secara fisik dari sang suami berupa pukulan di bagian kepala.

Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya isu kekerasan dalam rumah tangga merupakan isu yang nyata adanya dan sangat dekat dalam keseharian.

Dengan melihat besar angka prevalensi yang cukup tinggi serta adanya kasus nyata di depan mata terkait intimate partner violence (IPV) yang bahkan sampai merenggut nyawa, tentu isu ini merupakan isu yang sangat penting untuk dikaji lebih mendalam terkait dampak-dampak apa yang dirasakan oleh ibu hamil dan anak sebagai korban dari kekerasan oleh pasangan intim dalam konteks rumah tangga.

Dilansir dari Centers for Diseases Control and Prevention (cdc.gov, 2021), perilaku Intimate Partner Violence (IPV) dalam konteks hubungan asmara diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama.

Kategori pertama adalah kekerasan fisik, yang melibatkan tindakan merugikan secara fisik seperti memukul atau menendang pasangan. Kategori kedua adalah kekerasan seksual, yang melibatkan tindakan memaksa pasangan untuk melakukan aktivitas seksual tanpa persetujuan.

Sementara itu, kategori ketiga mencakup tindakan menguntit, di mana pelaku memberikan perhatian atau melakukan kontak yang tidak diinginkan, menciptakan rasa ancaman dan ketakutan bagi pasangan atau orang-orang terdekatnya.

Terakhir, agresi psikologis, kategori keempat, melibatkan penggunaan komunikasi verbal atau non-verbal dengan maksud menyakiti pasangan secara mental atau emosional, serta untuk mengendalikan pasangan.

Paparan terhadap intimate partner violence (IPV), yang melibatkan kekerasan fisik, seksual, psikologis, agresi, atau penguntitan, memiliki dampak yang signifikan pada kesejahteraan secara keseluruhan dan dapat menyebabkan konsekuensi kesehatan mental dan fisik yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

Dampak dari IPV tidak hanya dirasakan oleh ibu hamil, melainkan juga berdampak pada perkembangan janin atau di dalam kandungan dan meningkatkan resiko berbahaya pada saat kelahiran atau pasca kelahiran jika dilihat dari berbagai aspek.

Bahasan pertama, mari mengkaji bagaimana dampak yang dirasakan oleh ibu hamil yang secara langsung terpapar oleh serangan kekerasan oleh pelaku IPV baik itu kekerasan secara fisik, seksual, maupun psikologis.

Dampak fisik yang dirasakan oleh ibu hamil dapat dilihat secara kasat mata maupun melalui pemeriksaan medis secara menyeluruh. Dimensi fisik menyangkut bagaimana keberfungsian fisik tubuh, ada atau tidaknya indikasi penyakit kronis, dan bagaimana persepsi diri terhadap fisik dari pandangan korban.

Secara fisik, ibu hamil yang menjadi korban IPV fisik, biasanya akan menimbulkan berbagai luka fisik yang tampak seperti wajah dan mata bengkak kemerahan, luka bakar karena setrika panas dan air panas, luka terbuka, vagina robek dan berdarah akibat perkosaan dalam pernikahan), keguguran dan kehamilan yang tidak diinginkan (Nasreen, 2018).

Luka tampak tentu berbeda-beda pada setiap kasus IPV fisik, tergantung bagaimana bentuk penyerangan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.

Studi lain yang dilakukan oleh Stubbs (2022) membuktikan bahwa intimate partner violence (IPV) memiliki dampak yang sangat merugikan pada kesehatan fisik ibu hamil, seperti memperburuk gejala menopause, meningkatkan risiko diabetes, penularan infeksi menular seksual, dan terlibat dalam perilaku berisiko seperti penyalahgunaan obat dan alkohol, serta menyebabkan perkembangan penyakit kronis dan rasa sakit.

Studi terdahulu juga menemukan adanya kecenderungan perkembangan dari penyakit kronis dan rasa sakit yang dirasakan pada ibu hamil korban IPV, meskipun tidak ditemukan adanya gejala fisik sebagai pemicu.

Hal ini tentu mengarah pada gangguan psikosomatis atau gangguan fisik yang diakibatkan oleh tekanan psikologis sebagai bentuk dari efek kekerasan yang dialami (Ansara, 2006;  Nerøien, 2008; Savas & Agridag, 2011; Scheffer & Renck, 2008)

Bahasan kedua, mari melihat bagaimana dampak psikologis yang dirasakan ibu hamil yang menjadi korban kekerasan oleh pasangan atau IPV. Terpapar langsung dengan kekerasan mengakibatkan imunitas psikologi individu dapat menjadi lebih rentan.

Tentunya hal ini menyebabkan berbagai gangguan psikopatologis yang akan dialami oleh ibu hamil, mengingat masa kehamilan juga merupakan fase transisi psikologi yang kompleks juga dapat memperparah munculnya gangguan psikologis.

Pengalaman secara langsung terhadap kekerasan fisik, psikologis, penguntitan, dan seksual tentu akan menjadi penyebab utama munculnya gangguan kesehatan mental yang terjadi selama masa kehamilan maupun sesudah kehamilan.

Dampak psikologis cenderung bertahan lebih lama dan lebih sulit ditangani dibandingkan dampak secara fisik, sebab dampak ini tidak dapat secara langsung diobservasi melalui panca indera dan bersifat kasat mata. 

Dalam studi literatur yang dilakukan, ditemukan bahwa gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, posttraumatic stress disorder (PTSD), dan gangguan suasana hati secara signifikan disebabkan oleh paparan IPV dari pasangan selama masa kehamilan (Okuda et al., 2011; Ahmadabadi et al., 2020; Chandan et al., 2020; Mazza et al., 2021 ; Mehr, 2023).

Gangguan depresi paling banyak ditemukan pada ibu hamil yang menjadi korban IPV (Belay et al, 2019). Selain itu, dalam kasus kekerasan psikologis IPV selama masa pandemi ditemukan adanya gangguan psikologis pada ibu hamil seperti kecenderungan ingin bunuh diri dan perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm) (Teshome et al, 2021).

Selain indikasi gangguan psikologi selama kehamilan, dampak psikologis terhadap paparan IPV juga turut terjadi pada ibu pasca kelahiran.

Pada studi literatur, ditemukan bahwa IPV fisik atau seksual yang dilakukan selama masa kehamilan secara signifikan dapat meningkatkan resiko terjadinya postpartum depression atau depresi pasca melahirkan (Tran, 2022).

Tingginya resiko postpartum depression pada ibu tentu akan menjadi pemicu permasalahan gangguan dan kesejahteraan antara ibu dan bayi pasca melahirkan.

Ibu yang menjadi korban kekerasan IPV dalam rumah tangga selama masa kehamilan memiliki resiko tinggi sebagai penyebab utama ancaman kesehatan pada janin selama masa kehamilan maupun bayi pada fase pasca persalinan.

Berbagai studi tidak hanya menjelaskan bagaimana dinamika dampak intimate partner violence (IPV) terhadap ibu hamil, melainkan juga berfokus pada dampak apa yang akan dialami oleh janin atau bayi yang dipengaruhi langsung oleh kondisi ibu.

Seperti yang diketahui bahwa antara ibu dan janin memiliki kelekatan yang dikenal dengan istilah infant-mother attachment Studi yang dilakukan oleh Kana et al. (2020) menemukan bahwa IPV menjadi salah satu penyebab signifikan terkait berat badan bayi yang rendah pada saat kelahiran.

Hal ini juga ditemukan pada studi sebelumnya oleh Mercedes dan Lafaurie (2015) yang menemukan bahwa IPV dapat menimbulkan permasalahan kesehatan pada janin seperti keguguran, berat badan lahir rendah, kelahiran prematur bahkan kematian janin.

Resiko tinggi yang diakibatkan oleh paparan IPV kepada ibu hamil juga akan meningkatkan angka kematian janin selama masa kandungan (Wondimye et al, 2021). Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ibu yang tidak stabil dan kritis baik secara fisik maupun psikologis selama masa kehamilan.

Selain dampak negatif IPV yang ditimbulkan selama masa kehamilan. realitanya fase pasca melahirkan juga bukan tahapan yang mudah bagi ibu hamil yang menjadi korban kekerasan. Terlebih jika ibu hamil tidak mendapatkan intervensi maupun treatment terhadap penurunan dampak IPV yang diperoleh.

Salah satu gangguan perilaku ibu pasca melahirkan adalah premature breastfeeding. Istilah ini merujuk pada perilaku ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif pada tahun pertama kehidupan anak.

Penyebab utama gangguan perilaku pada menyusui pada Ibu disebabkan karena faktor utama gangguan psikologis dari paparan IPV pada ibu selama kehamilan.

Studi komparasi yang dilakukan Ribeiro et al. (2020) pada ibu yang terpapar IPV dan tidak terpapar, ditemukan bahwa ibu yang menjadi korban IPV baik itu sebelum atau selama kehamilan cenderung tidak menyusui anaknya pada satu tahun pertama kehidupan.

Penemuan ini didukung oleh studi lain yang menjelaskan bahwa perilaku tersebut disebabkan karena ibu mengalami gangguan postpartum depression sehingga ibu enggan untuk menyusui anaknya sebelum usia enam bulan (Kjerulff et al, 2019).

Permasalahan intimate partner violence (IPV) dalam rumah tangga selama masa kehamilan menimbulkan berbagai dampak negatif bagi ibu dan anak. Tentunya dalam menanggapi permasalahan tersebut, perlu dilakukan tindakan preventif dan promotif sebagai upaya meminimalisir prevalensi angka kejadian dan memanajemen resiko dampak yang ditimbulkan.

Strategi intervensi promosi yang dapat dilakukan yaitu (Mundakir & Junaidi, 2022):

  1. Menyediakan bantuan berupa layanan pengaduan darurat/hotline yang berfungsi selama 24 jam melalui nomor telepon, whatsapp, sosial media, dan email,
  2. Merumuskan bahasa simbolis atau isyarat yang dapat memberikan tanda bahaya kekerasan seksual sehingga korban yang tidak dapat berbicara secara verbal mampu meminta pertolongan,
  3. Peningkatan program pemberdayaan perempuan terutama bagi kelompok rentan dan beresiko,
  4. Promosi norma kesetaraan gender dalam rumah tangga,
  5. Edukasi hubungan sehat dan harmonis sehingga membentuk lingkungan yang baik di rumah maupun di masyarakat, dan
  6. Peningkatan pelayanan pada prosedur deteksi, pemeriksaan, rujukan dan pelayanan kesehatan bagi korban IPV.

Selain itu, dukungan sosial dari orang sekitar korban IPV lebih mungkin secara signifikan berdampak dalam membantu ibu hamil dalam meningkatkan resiliensi dan kembali bangkit menjadi individu yang optimal setelah melewati masa-masa sulit yaitu kehamilan dan pengalaman kekerasan.

Penting untuk memahami bahwa meningkatnya kesadaran di kalangan masyarakat terkait isu kekerasan dalam rumah tangga selama kehamilan dapat menjadi langkah awal yang krusial dalam penanggulangan masalah ini.

Kesadaran ini tidak hanya bersifat individual, melainkan juga dapat dipromosikan melalui pendidikan masyarakat, kampanye publik, serta kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kesehatan.

Selain itu, memberikan dukungan yang memadai kepada perempuan hamil yang mungkin menjadi korban kekerasan dari pasangan intim adalah sebuah langkah yang sangat krusial.

Dukungan ini bisa mencakup aspek-emosional, finansial, dan medis, serta dapat diberikan melalui program-program kesehatan, kelompok dukungan, dan sumber daya sosial lainnya.

Upaya pencegahan juga harus ditingkatkan dengan menerapkan pendekatan yang holistik. Hal ini melibatkan pembentukan kebijakan yang mendukung perlindungan terhadap perempuan hamil, serta pendekatan pendidikan dan intervensi yang lebih proaktif di berbagai tingkatan masyarakat.

Dengan melakukan semua langkah-langkah ini, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi setiap perempuan yang sedang mengalami kehamilan, serta secara efektif mengurangi insiden kekerasan dalam rumah tangga selama periode ini.

Penulis: Nafta Dillafihen
Mahasiswa Psikologi, Universitas Andalas

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

  1. Ansara, D. L., & Hindin, M. J. (2011). Psychosocial consequences of intimate partner violence for women and men in Canada. Journal of interpersonal violence, 26(8), 1628-1645.
  2. Ashenafi, W., Mengistie, B., Egata, G., & Berhane, Y. (2020). Intimate partner violence during pregnancy and neonatal mortality in Eastern Ethiopia: A population based matched case-control study.
  3. Belay, S., Astatkie, A., Emmelin, M., & Hinderaker, S. G. (2019). Intimate partner violence and maternal depression during pregnancy: a community-based cross-sectional study in Ethiopia. PloS one, 14(7), e0220003.
  4. Da Thi Tran, T., Murray, L., & Van Vo, T. (2022). Intimate partner violence during pregnancy and maternal and child health outcomes: a scoping review of the literature from low-and-middle income countries from 2016-2021. BMC pregnancy and childbirth, 22(1), 1-13.
  5. Dewi, N. W. E. P. (2022). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kecemasan Ibu Hamil Tm Iiii Dalam Menghadapi Persalinan Pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Medika Usada, 5(1), 46-50.
  6. Kana, M. A., Safiyan, H., Yusuf, H. E., Musa, A. S. M., Richards-Barber, M., Harmon, Q. E., & London, S. J. (2020). Association of intimate partner violence during pregnancy and birth weight among term births: a cross-sectional study in Kaduna, Northwestern Nigeria. BMJ open, 10(12), e036320.
  7. Komisi Nasional ANti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2023). Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Perlindungan dan Pemulihan. Diakses 4 Januari 2024 dari https://komnasperempuan.go.id/download-file/949
  8. Kompas.com. (2023) Ibu Rumah Tangga Hamil 3 Bulan Tewas Dalam Kamar, Diduga Korban KDRT. Tersedia online di : https://regional.kompas.com/read/2023/12/07/170357578/ibu-rumah-tangga-hamil-3-bulan-tewas-dalam-kamar-diduga-korban-kdrt. (Diakses pada 5 Januari, 2024).
  9. Kjerulff Madsen, F., Holm-Larsen, C. E., Wu, C., Rogathi, J., Manongi, R., Mushi, D., … & Rasch, V. (2019). Intimate partner violence and subsequent premature termination of exclusive breastfeeding: A cohort study. PLoS One, 14(6), e0217479.
  10. Mehr, J. B., Bennett, E. R., Price, J. L., de Souza, N. L., Buckman, J. F., Wilde, E. A., … & Esopenko, C. (2023). Intimate partner violence, substance use, and health comorbidities among women: A narrative review. Frontiers in psychology, 13, 1028375.
  11. Mercedes, M., & Lafaurie, V. (2015). Intimate partner violence against women during pregnancy: a critical reading from a gender perspective. Revista Colombiana de Enfermerıa, 10(10), 64-77.
  12. Mojahed, A., Alaidarous, N., Kopp, M., Pogarell, A., Thiel, F., & Garthus-Niegel, S. (2021). Prevalence of intimate partner violence among intimate partners during the perinatal period: a narrative literature review. Frontiers in psychiatry, 12, 601236.
  13. Mundakir, N. Q. A., & Junaidi, A. (2022). Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Transdisipliner. UMSurabaya Publishing.
  14. National Center for Injury Prevention and Control, D. o. V. C. (2021). Intimate Partner Violence. U.S. Department of Health & Human Services. Diakses 5 Januari 2024.
  15. Nerøien, A. I., & Schei, B. (2008). Partner violence and health: results from the first national study on violence against women in Norway. Scandinavian journal of public health, 36(2), 161-168.
  16. Nasreen, H. E., Rahman, J. A., Rus, R. M., Kartiwi, M., Sutan, R., & Edhborg, M. (2018). Prevalence and determinants of antepartum depressive and anxiety symptoms in expectant mothers and fathers: results from a perinatal psychiatric morbidity cohort study in the east and west coasts of Malaysia. BMC psychiatry, 18(1), 1-14.
  17. Pangesti, W. D. (2018). Adaptasi Psikologis Ibu Hamil Dalam Pencapaian Peran Sebagai Ibu Di Puskesmas Kembaran Ii Kabupaten Banyumas. Viva Medika: Jurnal Kesehatan, Kebidanan Dan Keperawatan, 11(2), 13-21.
  18. Ribeiro, M. R. C., Batista, R. F. L., Schraiber, L. B., Pinheiro, F. S., Santos, A. M. D., Simões, V. M. F., … & Silva, A. A. M. D. (2021). Recurrent violence, violence with complications, and intimate partner violence against pregnant women and breastfeeding duration. Journal of Women’s Health, 30(7), 979-989.
  19. Savas, N., & Agridag, G. (2011). The relationship between women’s mental health and domestic violence in semirural areas: a study in Turkey. Asia Pacific Journal of Public Health, 23(3), 399-407.
  20. Scheffer Lindgren, M., & Renck, B. (2008). ‘It is still so deep‐seated, the fear’: Psychological stress reactions as consequences of intimate partner violence. Journal of psychiatric and mental health nursing, 15(3), 219-228.
  21. Stubbs, A., & Szoeke, C. (2022). The effect of intimate partner violence on the physical health and health-related behaviors of women: A systematic review of the literature. Trauma, violence, & abuse, 23(4), 1157-1172.
  22. Teshome, A., Gudu, W., Bekele, D., Asfaw, M., Enyew, R., & Compton, S. D. (2021). Intimate partner violence among prenatal care attendees amidst the COVID‐19 crisis: The incidence in Ethiopia. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 153(1), 45-50.
  23. World Health Organization. (2022). Preventing intimate partner violence improves mental health. Geneva: WHO, October, 6. Tersedia online pada : https://www.who.int/news/item/06-10-2022-preventing-intimate-partner-violence-improves-mental-health (Diakses pada 5 Januari, 2024).
  24. World Health Organization. (2012) Understanding and Addressing Violence Against Women: Intimate Partner Violence. Tersedia online pada : https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/77432/WHO_RHR_12.36_eng.pdf (Diakses pada 5 Januari, 2024).

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *